[Medan | 27 Oktober 2025] Setelah mencetak rekor intraday di 8.351,06, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis 0,03% ke 8.271,72 pada Jumat (24/10/2025). Koreksi terjadi akibat aksi ambil untung dan rotasi sektor dari saham konglomerat ke blue chip menjelang pekan dengan agenda ekonomi padat.
Secara mingguan, IHSG masih naik 0,8%, namun tekanan muncul dari pelemahan saham besar seperti Barito Pacific (BRPT), DCI Indonesia (DCII), dan Bumi Resources Minerals (BRMS). Saham defensif seperti Unilever dan sektor kesehatan menahan pelemahan indeks. Volume transaksi mencapai Rp22,46 triliun, menandakan minat beli asing masih cukup kuat meski investor mulai berhati-hati.
Pekan ini, pasar akan fokus pada rilis inflasi Oktober dan neraca dagang September yang dijadwalkan Senin (3/11/2025). Inflasi diperkirakan 2,65% yoy, masih dalam target Bank Indonesia, sehingga peluang pelonggaran moneter akhir tahun tetap terbuka. Neraca dagang diprediksi surplus US$5,49 miliar, menopang stabilitas eksternal dan sentimen rupiah.
Dari Amerika Serikat, perhatian tertuju pada keputusan suku bunga The Federal Reserve, Kamis (30/10/2025) dini hari waktu Indonesia. Konsensus memperkirakan suku bunga tetap di 4,25%, dengan fokus pada pernyataan Jerome Powell mengenai arah kebijakan selanjutnya. Data PCE Price Index naik 0,3% pada September atau 2,7% yoy, menunjukkan tekanan inflasi masih terjaga.
Selain itu, rilis GDP AS kuartal III yang diperkirakan tumbuh 3,8% akan menjadi indikator penting arah pasar global. Jika hasil aktual lebih kuat dari perkiraan, dolar AS berpotensi menguat dan menekan aset berisiko, termasuk pasar saham emerging market seperti Indonesia.
Dari China, rilis PMI Manufaktur Oktober akan menjadi sorotan. Konsensus menempatkan indeks di 49,8, masih di bawah ambang ekspansi. Jika tetap kontraktif, hal ini bisa membebani saham komoditas dan sektor yang bergantung pada ekspor ke China.
Secara teknikal, IHSG diperkirakan menguji area support 8.200 dengan peluang rebound jika aliran dana asing tetap positif menjelang periode window dressing. Arah suku bunga global dan data ekonomi utama akan menjadi penentu utama volatilitas pasar pekan ini.

