[Medan | 19 Desember 2024] Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah pada akhir perdagangan Rabu (18/12/2024), seiring keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan. IHSG ditutup turun 0,7% ke level 7.107,87, kembali mendekati batas psikologis 7.000.
Dari 11 indeks sektoral, sepuluh sektor mengalami penurunan bersama IHSG, dengan hanya sektor barang konsumsi nonprimer yang mencatatkan penguatan sebesar 0,58%. Penurunan terbesar dialami oleh sektor transportasi dan logistik yang merosot 1,37%, diikuti sektor barang baku (-1,03%), infrastruktur (-0,93%), kesehatan (-0,66%), serta properti dan real estat (-0,58%). Sektor lainnya, seperti keuangan, teknologi, barang konsumsi primer, energi, dan perindustrian, juga mengalami penurunan di kisaran 0,23% hingga 0,54%.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI rate di level 6,00% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar pada 17 – 18 Desember 2024. Selain menahan suku bunga acuan, BI juga menahan suku bunga deposit facility di level 5,25% dan suku bunga lending facility di level 6,75%.
Secara domestik, beberapa indikator ekonomi menunjukkan perlambatan, terutama dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang menjadi kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, tingkat inflasi pada November 2024 turun ke 1,55% secara tahunan, dan mencapai titik terendahnya sejak April 2021. Angka ini pun mendekati batas bawah target BI, dan kondisi ini sebenarnya menciptakan ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede juga pada awalnya melihat BI Rate dapat turun jika sinyal Fed Fund Rate (FFR) dipangkas pada FOMC Desember 2024 semakin kuat, dan rupiah tidak tembus Rp 16.000 per dolar. Namun nyatanya pada akhir pekan lalu, rupiah ditutup di atas Rp 16.000 per dolar AS dan terus berlanjut pelemahannya pada pekan ketiga Desember. Adapun pada akhir perdagangan hari Selasa (17/12/2024), rupiah ditutup di level Rp16.085 per dolar AS.
Salah satu faktor utama yang menekan rupiah adalah ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed. Berdasarkan data dari CME FedWatch, pasar memperkirakan peluang 96,3% bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin dalam pertemuan pada 18 Desember. Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 turut memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun.
Melemahnya rupiah terhadap dolar juga turut dipengaruhi oleh terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Kebijakan tarif proteksionis yang diberlakukan oleh Trump berpotensi meningkatkan ketidakpastian perdagangan global, yang pada gilirannya mendorong penguatan dolar AS sebagai aset aman (safe haven). Akibatnya, mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah, cenderung mengalami tekanan.
Adapun saat ini, para ekonom memprediksikan bahwa penurunan suku bunga hingga akhir tahun 2025 hanya akan sebesar 75 basis poin, lebih kecil dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang mencapai 100 basis poin. Perubahan ini juga sejalan dengan ekspektasi terhadap kebijakan suku bunga dari Federal Reserve AS, yang diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin sepanjang tahun depan.