[Medan | 12 Maret 2025] Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berada dalam tren pelemahan dan kini turun ke level 6.500-an. Adapun pada perdagangan hari Selasa (11/3/2025), IHSG terpantau melemah 0,79% ke level 6.545.
Pelemahan IHSG dipicu oleh ketidakpastian baik dari faktor eksternal maupun domestik. Ahmad Mikail, ekonom dari Sucor Sekuritas, menyoroti bahwa kekhawatiran akan resesi di Amerika Serikat (AS) menyebabkan Wall Street melemah pada perdagangan sebelumnya. Ia juga menambahkan bahwa perang dagang antara AS dan China berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi kedua negara. Namun, tekanan ini bisa mempercepat langkah The Fed untuk memangkas suku bunga guna menghindari resesi.
Dari sisi domestik, Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst dari Mirae Asset Sekuritas, menjelaskan bahwa IHSG tertekan akibat penurunan peringkat dari berbagai institusi besar, sementara sentimen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lemah. Di AS sendiri, sejumlah indikator ekonomi menunjukkan pelemahan, yang semakin meningkatkan potensi resesi di negara tersebut.
Senada dengan itu, Hosianna Situmorang, ekonom Bank Danamon, menyoroti bahwa sejumlah lembaga keuangan besar juga menurunkan peringkat pasar saham Indonesia. Baru-baru ini, Goldman Sachs Group Inc. menurunkan peringkat pasar saham dan obligasi Indonesia akibat kekhawatiran terhadap dampak perang dagang global serta pembentukan sovereign wealth fund (SWF) baru Indonesia, Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Goldman Sachs merevisi peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight. Selain itu, peringkat obligasi negara bertenor 10–20 tahun diturunkan menjadi netral, padahal sebelumnya instrumen ini dianggap sebagai yang paling menarik di pasar.
Selain Goldman Sachs, Morgan Stanley juga menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW) pada akhir bulan lalu. Dalam laporannya, Morgan Stanley menilai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin melemah, sementara tekanan terhadap profitabilitas perusahaan di sektor siklikal meningkat.
Morgan Stanley juga mencatat bahwa tren return on equity (ROE) kini lebih menguntungkan saham-saham di China dibanding Indonesia. Saham di China mulai menunjukkan pemulihan yang didorong oleh peningkatan kinerja operasional dan efisiensi keuangan di sektor-sektor utama dalam indeks. Selain faktor fundamental, valuasi saham Indonesia dianggap kurang menarik dibanding China, terutama setelah pemerintah China mulai lebih mendukung sektor swasta.
Selain itu, Hosianna juga menyoroti adanya perubahan aliran investasi ke aset yang lebih defensif seperti obligasi. Sejak awal tahun, investor asing telah mencatatkan net sell sebesar US$ 1,4 miliar di pasar saham Indonesia, sementara di pasar obligasi justru terjadi net buy sebesar US$ 1,2 miliar. Hal ini mencerminkan peralihan investor ke aset yang lebih stabil di tengah ketidakpastian global saat ini.