[Medan | 15 Agustus 2024] Inflasi tahunan di AS menurun selama empat bulan berturut-turut menjadi 2,9% pada Juli 2024, terendah sejak Maret 2021, dibandingkan dengan 3% pada bulan Juni dan di bawah perkiraan sebesar 3%. Selain itu, inflasi inti tahunan juga turun selama empat bulan berturut-turut menjadi 3,2%, terendah sejak April 2021, dibandingkan 3,3% pada bulan Juni.
Angka ini menunjukkan bahwa inflasi di AS semakin mendekati target yang ditetapkan oleh The Federal Reserve (The Fed). Seperti diketahui, inflasi adalah salah satu faktor utama yang dipertimbangkan oleh The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga. Dengan inflasi yang mendekati target 2%, kemungkinan penurunan suku bunga semakin besar.
Saat ini, pasar memperkirakan bahwa The Fed tidak hanya akan memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin, tetapi juga berpotensi mencapai 125 basis poin hingga akhir tahun dalam tiga pertemuan FOMC berikutnya, yaitu pada bulan September, November, dan Desember. Dengan demikian, suku bunga AS diperkirakan akan berada di level 4,25% pada akhir tahun ini, turun dari 5,50% saat ini. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuannya sebesar total 75 basis poin tahun ini, dengan penurunan suku bunga BI Rate yang kemungkinan dimulai pada bulan September.
Penurunan suku bunga oleh The Fed dan Bank Indonesia dapat memberikan dampak positif bagi pasar saham dan obligasi. Di pasar saham, penurunan suku bunga menurunkan biaya pinjaman, yang mendorong peningkatan investasi dan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dan harga saham. Selain itu, dengan imbal hasil obligasi yang lebih rendah, investor mungkin beralih ke saham untuk mencari return yang lebih tinggi, yang dapat mendorong kenaikan indeks saham.
Di pasar obligasi, penurunan suku bunga akan menyebabkan kenaikan harga obligasi yang sudah ada, karena obligasi baru akan menawarkan kupon yang lebih rendah. Obligasi dengan suku bunga tetap menjadi lebih menarik, sehingga harganya naik di pasar sekunder. Hal ini juga dapat mendorong aliran modal ke obligasi di negara berkembang seperti Indonesia, yang menawarkan yield lebih tinggi.