[Medan | 16 Januari 2024] Pajak hiburan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) kini tengah menjadi perhatian para pengusaha hiburan. Pasalnya, UU tersebut menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) seperti makanan dan minuman, jasa perhotelan, dan jasa kesenian dengan tarif maksimal 10%.
Sementara khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, pajaknya ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Besarnya tarif pajak ini dianggap memberikan beban berat bagi pelaku usaha hiburan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada penurunan omset dan nilai saham.
Pasalnya, sekalipun pajak tersebut merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, yang pajaknya dibayarkan oleh konsumen sehingga pelaku usaha hanya memungut pajak yang telah ditetapkan. Namun jika harus mengeluarkan dana lebih banyak untuk dunia hiburan, maka tidak menutup kemungkinan adanya penurunan pengunjung karena biaya akan lebih mahal bagi konsumen, sehingga berpotensi menurunkan pendapatan dari para pelaku usaha dunia hiburan.
Selain itu, dampak negatif juga dapat dirasakan oleh saham-saham yang terkait dengan bisnis klub malam, karaoke, dan minuman beralkohol, mengingat jenis minuman ini merupakan bagian integral dari menu yang ditawarkan di tempat hiburan tersebut. Adapun sejumlah saham yang memiliki bisnis dunia hiburan malam dan minuman beralkohol adalah sebagai berikut:
- PT Lima Dua Lima Tiga Tbk (LUCY)
- PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ)
- PT Jobubu Jarum Minahasa Tbk (BEER)
- PT Hatten Bali Tbk (WINE)
- PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI)
- PT Delta Djakarta Tbk (DLTA)
- PT Lovina Beach Brewery Tbk (STRK)