[Medan | 16 Juni 2025] Sejumlah bank besar tengah bersiap menerbitkan obligasi dalam waktu dekat. Langkah ini dinilai sebagai strategi diversifikasi sumber pendanaan di tengah tekanan likuiditas yang kian terasa di sektor perbankan nasional.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indikator likuiditas seperti loan to deposit ratio (LDR) per Maret 2025 tercatat naik menjadi 87,95%, dari posisi Januari dan Februari yang stabil di 87,93%.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) terus melambat — dari 5,3% YoY pada Januari, menjadi 4,7% pada Maret, dan hanya 4,4% YoY pada April 2025.
Kondisi ini mencerminkan tekanan likuiditas yang mulai membayangi, meskipun sektor perbankan masih dalam posisi relatif stabil. Di tengah dinamika ini, lima bank nasional tercatat tengah menyiapkan penerbitan obligasi, yakni:
– PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk – target dana Rp 5 triliun
– PT Bank OCBC NISP Tbk – Rp 1,5 triliun
– PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) – Rp 5 triliun
– PT Bank Mandiri Taspen – Rp 1,5 triliun
– PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) – mempertimbangkan penerbitan baru seiring jatuh temponya green bond Rp 4 triliun pada 21 Juni 2025
Menariknya, sejumlah bank mulai memfokuskan penerbitan obligasi pada pembiayaan berkelanjutan. BSI dan BRI secara spesifik mengarahkan dana ke proyek berwawasan lingkungan dan sosial (ESG). BSI, dalam prospektusnya, menyatakan bahwa dana yang dihimpun akan dialokasikan untuk kegiatan Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).
Sementara BRI mengarahkan dananya ke Kegiatan Usaha Berwawasan Sosial (KUBS), seperti akses layanan esensial, perumahan terjangkau, hingga penciptaan lapangan kerja.
BNI, yang akan melunasi green bond senilai Rp 4 triliun, juga mempertimbangkan penerbitan baru sebagai bagian dari strategi refinancing dan reprofiling pendanaan.
Menurut Arianto Muditomo, Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, maraknya penerbitan obligasi menunjukkan upaya bank dalam mencari alternatif pendanaan di tengah melambatnya DPK. Ini juga sejalan dengan komitmen terhadap pembiayaan berkelanjutan.
Senada dengan itu, Ekonom Segara Research Institute Piter Abdullah menilai fenomena ini bukan semata indikasi ketatnya likuiditas. Menurutnya, tingkat suku bunga justru menjadi indikator utama yang lebih menentukan kebutuhan pendanaan bank.