[Medan | 24 Juni 2025] Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklirnya.
Langkah ini memicu kekhawatiran global karena Selat Hormuz merupakan jalur vital yang dilalui sekitar 20–25% perdagangan minyak dunia, atau setara lebih dari 17 juta barel per hari. Bagi pasar energi, Selat Hormuz bukan sekadar jalur laut, tetapi jantung distribusi minyak dunia. Gangguan di titik ini akan mengguncang rantai pasok energi secara global.
Iran, yang secara geografis mengontrol sisi utara selat, memiliki kapabilitas militer untuk menghambat pelayaran dengan berbagai cara, mulai dari peluncuran rudal, penanaman ranjau laut, hingga penggunaan kapal cepat bersenjata.
Opsi tersebut dinilai sebagai langkah strategis, namun juga berisiko tinggi bagi Iran sendiri, karena akan menghambat ekspor minyaknya dan bisa memicu reaksi keras dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, hingga China.
Dampak langsung dari eskalasi ini sudah mulai terasa di pasar keuangan. Harga minyak Brent sempat melonjak lebih dari 5% dan menyentuh level US$80 per barel, sebelum terkoreksi kembali ke kisaran US$76–77.
Beberapa lembaga keuangan memperkirakan, jika situasi memburuk dan penutupan selat benar-benar terjadi, harga minyak bisa meroket hingga US$90–110 per barel, menambah beban inflasi global yang sudah rentan pasca pandemi dan konflik Rusia-Ukraina.
IMF telah mengingatkan bahwa gangguan berkepanjangan di Selat Hormuz berpotensi mendorong inflasi global lebih tinggi, menekan pertumbuhan ekonomi, serta menunda pelonggaran suku bunga oleh bank sentral utama dunia. Negara-negara importir minyak, termasuk Indonesia, akan menghadapi tekanan ganda, dari sisi harga energi yang naik serta dari pelemahan nilai tukar akibat pergeseran arus modal ke aset safe-haven.
Dari perspektif pasar, ancaman ini juga dapat memicu rotasi aset secara global. Investor cenderung mengalihkan dana ke instrumen yang lebih aman seperti emas dan obligasi pemerintah. Sementara itu, saham-saham sektor energi berpotensi menguat dalam jangka pendek, tetapi volatilitas tinggi akan membayangi jika ketidakpastian berkepanjangan.
Dengan mempertimbangkan ketergantungan global terhadap Selat Hormuz, setiap langkah eskalatif yang diambil Iran bukan hanya akan menguji ketahanan energi, tetapi juga kestabilan ekonomi dunia secara keseluruhan.