[Medan | 21 April 2025] Dalam menghadapi ancaman tarif balasan dari Amerika Serikat (AS), pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis melalui upaya negosiasi dagang.
AS sebelumnya mengumumkan rencana penerapan tarif sebesar 32% terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Meskipun kebijakan tersebut ditunda selama 90 hari, ancamannya sudah cukup menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha dalam negeri. Apalagi, kebijakan serupa juga ditujukan kepada negara lain sebagai bagian dari langkah proteksionis Presiden Donald Trump. Merespons hal ini, Indonesia berupaya cepat untuk melindungi kinerja ekspornya dari tekanan eksternal.
Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyambut baik respons Indonesia dan menilai usulan yang diajukan sebagai solusi yang konkret dan realistis. Ia menggarisbawahi bahwa proposal Indonesia berbeda dibandingkan negara lain karena menawarkan pendekatan yang saling menguntungkan dan menunjukkan komitmen membangun kemitraan dagang yang seimbang. Pernyataan terbuka ini menjadi indikasi bahwa AS membuka diri untuk melanjutkan pembicaraan lebih serius.
Kedua negara pun sepakat untuk menyelesaikan tahap negosiasi teknis dalam kurun waktu 60 hari. Menyusul hal tersebut, Lutnick meminta Indonesia segera menjadwalkan pertemuan teknis dengan dua lembaga kunci AS, yakni Department of Commerce (DOC) dan United States Trade Representative (USTR). Fokus utama pembahasan adalah rincian kebijakan tarif dan aspek teknis yang terkait dengan perdagangan bilateral.
Sebagai bagian dari solusi untuk mengurangi defisit perdagangan AS, Indonesia mengusulkan peningkatan impor barang-barang dari Negeri Paman Sam. Beberapa produk yang diusulkan antara lain energi seperti minyak mentah, LPG, dan bensin olahan, serta komoditas pertanian seperti gandum, kedelai, dan turunannya, produk-produk yang masih belum dapat diproduksi secara optimal di dalam negeri.
Usulan ini diharapkan dapat mengurangi kekhawatiran AS atas ketimpangan neraca perdagangan, sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalin hubungan dagang yang saling menguntungkan. Strategi semacam ini mencerminkan pendekatan diplomasi ekonomi Indonesia yang rasional dan responsif terhadap dinamika global.
Selain isu tarif, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menekankan kesiapan Indonesia untuk menjalin kerja sama di sektor mineral strategis (critical minerals) yang kini menjadi perhatian global. Pemerintah bahkan membuka peluang besar bagi investasi AS di sektor ini, serta berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai hambatan non-tarif (Non-Tariff Barriers/NTB) yang selama ini menjadi keluhan pelaku usaha AS di Indonesia.
Dalam struktur kebijakan perdagangan AS, DOC bertanggung jawab dalam menyusun strategi tarif secara menyeluruh serta mendukung pertumbuhan ekonomi dan perdagangan AS. Sementara USTR bertugas sebagai pelaksana teknis dalam proses negosiasi dan menjembatani hubungan perdagangan antara AS dengan negara mitra, termasuk Indonesia. Sinergi kedua lembaga ini akan menjadi faktor penentu dalam penyusunan kebijakan tarif yang lebih seimbang dan adil.
Dengan menyampaikan proposal yang jelas dan realistis, posisi Indonesia dalam meja perundingan menjadi lebih kuat dibandingkan negara-negara lain yang belum menerima respons dari AS. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis solusi dan kerja sama jangka panjang menjadi strategi yang lebih efektif dalam menghadapi proteksionisme global.
Pertemuan bilateral antara Indonesia dan AS membuka peluang baru dalam memperkuat hubungan dagang kedua negara. Respons positif dari Washington memberikan sinyal bahwa Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk menekan dampak kebijakan tarif tinggi.
Hasil negosiasi yang ditargetkan rampung dalam dua bulan ke depan akan menjadi penentu arah kerja sama dagang ke depan. Jika berhasil, langkah ini tidak hanya akan menahan tekanan tarif bagi eksportir nasional, tetapi juga memperluas akses pasar luar negeri dan memperkuat posisi Indonesia dalam perekonomian global.