[Medan | 23 Juni 2025] Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir strategis milik Iran pada Minggu (22/6) dini hari waktu setempat. Target serangan meliputi Fordow, Natanz, dan Isfahan, yang dikenal sebagai pusat utama pengembangan program nuklir Iran.
Langkah ini menandai keterlibatan langsung AS dalam perang Timur Tengah terbaru. Menurut Ian Parmeter dari Australian National University, ada tiga skenario utama yang mungkin terjadi pasca-serangan ini:
1. Iran Membalas Serangan
Iran berpotensi membalas, namun dalam skala terbatas seperti yang terjadi usai pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani tahun 2020. Saat itu, Iran menembakkan rudal ke pangkalan AS di Irak tanpa korban jiwa. Saat ini, Iran diyakini tidak memiliki kekuatan militer untuk konfrontasi langsung dengan AS, terlebih cadangan misilnya disebut sudah menipis dan sepertiga peluncurnya dihancurkan oleh Israel. Jika Iran tetap menyerang aset AS, Trump telah memperingatkan akan membalas dengan kekuatan yang jauh lebih besar.
2. Iran Mundur dan Negosiasi Dimulai
Skenario lain adalah Iran memilih negosiasi, khususnya terkait program nuklirnya. Namun, negosiasi ini hanya mungkin terjadi jika Israel menghentikan serangannya. Masalahnya, PM Benjamin Netanyahu menolak gencatan senjata sebelum semua fasilitas nuklir Iran hancur. Iran bisa saja mundur demi menjaga kelangsungan rezim, meski secara politis akan menjadi langkah berat.
3. Keterlibatan AS Bersifat Terbatas
Mengingat mayoritas rakyat AS, sekitar 60% menurut survei The Economist/YouGov, menolak keterlibatan militer di Timur Tengah, serangan ini mungkin dimaksudkan sebagai aksi terbatas. Jika serangan ini cukup untuk melemahkan Iran dan mempercepat akhir perang, Trump bisa mendapat dukungan domestik. Namun, jika konflik berlanjut atau kepentingan AS diserang balik, maka tekanan politik dalam negeri terhadap Trump bisa meningkat tajam.