[Medan | 9 Oktober 2024] Bank Dunia memperkirakan ekonomi China akan terus melemah pada 2025 meskipun terdorong sementara oleh serangkaian stimulus baru-baru ini, yang menambah tekanan pada ekonomi regional.
Pertumbuhan China diperkirakan turun menjadi 4,3% pada tahun depan, dibandingkan dengan 4,8% pada 2024, menurut laporan prospek ekonomi semi-tahunan lembaga tersebut. Dampaknya akan terasa di seluruh kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, Australia, dan Korea Selatan, dengan pertumbuhan ekonomi regional diperkirakan melambat menjadi 4,4% pada 2025, dari 4,8% tahun ini.
Selama tiga dekade terakhir, pertumbuhan China menjadi pendorong signifikan bagi negara-negara tetangganya, namun saat ini kekuatan tersebut mulai memudar. Stimulus fiskal yang baru-baru ini diumumkan mungkin akan mendukung pertumbuhan jangka pendek, tetapi untuk pertumbuhan jangka panjang diperlukan reformasi struktural yang lebih dalam.
Pejabat China telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sekitar 5% untuk tahun ini, tetapi pencapaian target tersebut semakin sulit, terutama pada Agustus lalu ketika konsumsi melemah dan pasar properti tetap tidak stabil. Pada akhir September, pemerintah China meluncurkan beberapa stimulus, terutama dalam kebijakan moneter, seperti pemangkasan suku bunga.
Fokus kini bergeser ke dukungan fiskal yang lebih besar guna mendorong pengeluaran, mengembalikan kepercayaan, dan memulihkan ekonomi. Proyeksi Bank Dunia untuk pertumbuhan China tahun ini sejalan dengan perkiraan survei Bloomberg, namun prediksi untuk 2025 sedikit lebih rendah dari median 4,5%.
Selain perlambatan di China, perubahan dalam arus perdagangan dan investasi, ditambah ketidakpastian kebijakan global yang meningkat, juga diperkirakan memengaruhi Asia Timur dan Pasifik, menurut Bank Dunia.
Ketegangan perdagangan antara AS dan China, meskipun menciptakan peluang bagi negara-negara seperti Vietnam untuk mengambil peran baru dalam rantai pasokan global, semakin dibatasi oleh aturan ketat tentang asal barang pada impor dan ekspor.
Bank Dunia juga meneliti dampak teknologi baru, seperti robotika dan kecerdasan buatan (AI), terhadap pasar tenaga kerja di Asia. Karena dominasi pekerjaan manual di kawasan ini, hanya sebagian kecil pekerjaan yang terancam oleh AI dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa Asia kurang siap untuk memanfaatkan keuntungan produktivitas yang ditawarkan oleh AI.