[Medan | 1 Agustus 2024] Bank Sentral Jepang (BoJ) kembali menaikkan suku bunga acuan menjadi 0,25% dari rentang sebelumnya 0% hingga 0,1%. Suku bunga sebesar 0,25% ini adalah yang tertinggi sejak 2008, atau dalam 16 tahun terakhir. Selain itu, BoJ juga akan mengurangi program pembelian obligasi.
BoJ memutuskan untuk melakukan pengetatan (Quantitative Tightening/QT) dengan mengurangi pembelian obligasi bulanan menjadi sekitar setengahnya, yaitu JPY 3 triliun (US$19,6 miliar atau sekitar Rp317,5 triliun) dari JPY 6 triliun saat ini, mulai Januari-Maret 2026.
Salah satu alasan BoJ menaikkan suku bunga adalah ekspektasi inflasi Jepang yang meningkat. BoJ memperkirakan inflasi inti, di luar makanan, akan mencapai 2,5% pada akhir tahun fiskal 2024/2025 atau Maret 2025. Inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 2% pada akhir tahun fiskal 2025 dan 2026.
Salah satu faktor yang akan mendorong inflasi adalah kenaikan upah pekerja di Jepang. Kondisi ini dapat membuat perusahaan menaikkan harga layanan untuk menutupi biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Dengan meningkatnya upah masyarakat Jepang, kemampuan untuk melakukan pembelian (peningkatan permintaan/demand) juga berpotensi meningkat. Hal ini dapat menyebabkan lonjakan impor Jepang dari negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
Menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor Indonesia ke Jepang cenderung menurun sejak mencapai puncaknya pada 2022 sebesar US$24,85 miliar. Penurunan terjadi menjadi US$20,78 miliar pada 2023 dan terus menurun menjadi US$8,72 miliar pada periode Januari-Mei 2024.
Namun, kenaikan suku bunga juga bisa menekan permintaan masyarakat Jepang akibat meningkatnya biaya bunga pinjaman. Kondisi ini bisa menekan ekonomi Jepang dan memiliki dampak luas ke Indonesia.