[Medan | 18 September 2024] Ekonom memperkirakan bahwa Bank Indonesia (BI) akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, dari 6,25% menjadi 6%, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 17-18 September 2024.
Beberapa alasan utama mendasari prediksi tersebut. Pertama, perlambatan ekonomi domestik menjadi salah satu faktor kunci. Pemulihan ekonomi Indonesia terlihat terhambat dengan aktivitas manufaktur yang terkontraksi selama dua bulan berturut-turut, diikuti oleh melemahnya aktivitas rekrutmen tenaga kerja. Di sisi lain, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus meningkat, sementara sentimen keyakinan konsumen juga semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pendorong utama pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi, sedang melemah.
Penurunan harga minyak dunia menjadi faktor kedua yang mendukung prediksi penurunan suku bunga. Sejak RDG terakhir pada Agustus lalu, harga minyak jenis West Texas Intermediate telah anjlok sebesar 10%, bahkan sempat menyentuh di bawah level US$65 per barel. Pelemahan harga minyak ini berperan penting dalam mengurangi tekanan inflasi di dalam negeri, serta mengurangi potensi kenaikan harga BBM dalam waktu dekat. Selain itu, harga minyak yang lebih rendah dapat memperkuat posisi rupiah karena 30% dari permintaan dolar AS di pasar domestik berasal dari impor minyak.
Arus masuk modal asing juga menjadi pertimbangan signifikan. Selama kuartal ini, rupiah telah mencatat penguatan sebesar 6,47%, salah satu yang terkuat di Asia, didorong oleh derasnya arus modal asing ke pasar domestik. Investor asing telah memborong Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp38,7 triliun selama bulan Agustus saja, jumlah tertinggi sejak Januari 2023. Sementara di pasar saham, sepanjang tahun ini, pembelian asing mencapai Rp31,47 triliun, dengan catatan belanja asing mencapai rekor tertinggi pada bulan September.
Tekanan harga domestik yang semakin menurun juga memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga. Indonesia telah mencatat deflasi selama empat bulan berturut-turut, periode deflasi terpanjang sejak krisis moneter 1998. Hal ini dapat memperkuat keyakinan Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan koleganya untuk melonggarkan kebijakan moneter, karena dengan inflasi yang lebih rendah, mata uang cenderung lebih kuat, sehingga menciptakan ruang bagi penurunan suku bunga.
Terakhir, pelemahan ekonomi global, terutama dari Tiongkok dan Amerika Serikat, juga memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia. Tiongkok, sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang lebih tajam, dengan produksi, konsumsi, dan investasi yang melambat lebih dari yang diperkirakan. Di Amerika Serikat, tingkat pengangguran masih tinggi, menandakan perlambatan ekonomi. Kondisi ini berdampak pada Indonesia, terutama pada sektor manufaktur yang terkontraksi akibat melemahnya permintaan global.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, peluang BI untuk memangkas suku bunga semakin kuat, terutama untuk mendukung stabilitas ekonomi domestik dan menjaga daya saing rupiah di tengah tantangan global yang semakin meningkat.