Beberapa negara tampaknya sudah mulai berani untuk melakukan dedolarisasi. Dedolarisasi sendiri adalah istilah yang mengacu pada proses saat negara-negara cenderung mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS sebagai mata uang cadangan, alat tukar, dan juga unit hitung.
Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM), negara-negara di ASEAN sendiri telah sepakat untuk menggunakan mata uang lokal dalam bertransaksi. Bank Indonesia, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand pun sudah mengawali komitmen tersebut dengan penguatan kerja sama.
Selain itu, State Bank of Vietnam (SBV) saat ini juga sudah sepakat untuk bergabung dalam kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan ASEAN bersama dengan Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS), dan Bank of Thailand (BOT). SBV memperkuat Konektivitas Pembayaran Regional (Regional Payment Connectivity/RPC) sehingga transaksi di Vietnam bisa nenggunakan QRIS.
Kebijakan dedolarisasi ini pun dinilai mampu mengurangi kebergantungan Indonesia terhadap mata uang AS. Langkah itu juga dianggap bisa membuat rupiah menjadi stabil, bahkan menguat. Stabilitas nilai tukar rupiah bisa mendorong peningkatan investasi dan kegiatan perdagangan internasional, serta mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi solid dalam jangka panjang.
Namun, sekalipun dedolarisasi ini membawa dampak yang cukup besar bagi Indonesia, nyata dedolarisasi ini juga memiliki sejumlah dampak negatif untuk Indonesia. Menurut pengamat ekonomi di Pusat Penelitian Ekonomi dan Hukum, kelemahan dari dedolarisasi ini adalah sulitnya menggunakan mata uang lokal untuk membayar kapal di jalur perdagangan lintas batas. Pasalnya, 90% kapal ekspor impor berbendera asing, dan kapal berbendera asing lebih memilih membayar dalam dolar AS daripada mata uang lokal, seperti rupiah.