[Medan | 28 April 2025] Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah Indonesia terus menjajaki pasar ekspor baru di tengah dinamika perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat (AS).
Airlangga menuturkan, pemerintah belakangan ini intensif membuka akses pasar ke negara-negara anggota BRICS, yakni Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa, menyusul keanggotaan resmi Indonesia dalam blok ekonomi tersebut sejak 6 Januari 2025.
Selain memperluas akses ke BRICS, Indonesia juga tengah mempercepat penyelesaian perjanjian kerja sama perdagangan bebas dengan Uni Eropa melalui Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan pasar ekspor Indonesia ke Eropa akan semakin terbuka lebar dan mampu menjadi alternatif di tengah tekanan tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengajukan aksesi atau permohonan keanggotaan dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), yang merupakan salah satu blok perdagangan bebas terbesar di dunia. Dengan masuk ke CPTPP, Indonesia akan mendapatkan akses pasar tambahan ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Amerika Latin, memperkuat diversifikasi pasar ekspor nasional.
Perluasan pasar ekspor ke negara-negara BRICS, Uni Eropa, dan CPTPP menjadi strategi jangka panjang Indonesia untuk menjaga kinerja ekspor di tengah ketidakpastian global. Upaya ini dinilai penting untuk memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar global, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan China.
Sebagaimana diketahui, Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan penerapan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Akibat kebijakan tersebut, tarif impor produk Indonesia ke AS berpotensi naik hingga 32 persen. Langkah ini memicu ketegangan dagang global, di mana beberapa negara seperti China memilih untuk melakukan aksi balasan berupa pengenaan tarif terhadap produk AS.
Berbeda dengan China, Indonesia bersama sejumlah negara lain memilih menempuh jalur negosiasi dengan Amerika Serikat. Hasilnya, AS memberikan penangguhan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari kepada negara-negara yang tidak melakukan retaliasi, termasuk Indonesia. Namun demikian, tarif dasar universal sebesar 10 persen tetap diberlakukan, sehingga tetap ada tantangan bagi eksportir Indonesia.
Dalam konteks ini, respons cepat pemerintah untuk membuka akses pasar baru menjadi kunci penting agar ekspor nasional tidak terpuruk di tengah tekanan global. Bila diversifikasi pasar ini berjalan efektif, Indonesia berpeluang menjaga stabilitas neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, meskipun dalam skenario ketidakpastian yang berkepanjangan akibat perang dagang.