[Medan | 5 November 2025] Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Selasa (4/11/2025), rupiah ditutup melemah 0,19% ke posisi Rp16.708 per dolar AS, menjadi level terendah sejak akhir September 2025.
Pelemahan ini terjadi seiring penguatan indeks dolar AS (DXY) yang menembus level 100,037 — tertinggi dalam lima bulan terakhir — di tengah meningkatnya permintaan global terhadap aset aman (safe haven).
Namun tekanan terhadap rupiah tidak sepenuhnya disebabkan faktor eksternal. Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menilai pelemahan rupiah lebih banyak dipicu oleh persepsi pasar terhadap kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang dinilai tidak sinkron.
Pasar menilai pengelolaan fiskal dan moneter Indonesia seperti koboi — terlalu reaktif dan tidak terkoordinasi dengan baik. Saat Menteri Keuangan berbicara soal suku bunga, BI justru menurunkan suku bunga acuan. Akibatnya volatilitas meningkat di pasar saham dan SBN.
Ketidakseimbangan kebijakan ini mendorong kenaikan imbal hasil (yield) obligasi dan menekan rupiah, meski indeks dolar AS sedang melemah. Pasar pun menilai BI terlalu pasif dalam menjaga stabilitas cadangan devisa.
BI tidak menambah cadangan emas seperti yang dilakukan banyak bank sentral negara berkembang lainnya. Pasar membaca bahwa BI terlalu mengandalkan intervensi jangka pendek ketimbang memperkuat fundamental devisa.
Data BI menunjukkan kepemilikan SBN oleh BI terus menurun dari 25,66% pada akhir Desember 2024 menjadi 24,01% pada 9 Oktober 2025, menandakan potensi pelepasan surat utang untuk menopang likuiditas.
Sementara itu, posisi cadangan devisa Indonesia per Oktober 2025 masih mencukupi untuk membiayai kebutuhan impor dan pembayaran utang jangka pendek, namun pasar menilai ruang intervensi BI mulai terbatas.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Sutopo Widodo, menilai pelemahan rupiah kali ini juga diperburuk oleh meningkatnya permintaan dolar untuk kebutuhan pembayaran impor dan repatriasi dividen perusahaan asing.
Selain faktor global, permintaan dolar di dalam negeri meningkat karena kebutuhan pembayaran luar negeri di akhir tahun. BI memang aktif melakukan intervensi, tetapi pasar tetap menguji level psikologis Rp17.000 per dolar AS.
BI melakukan intervensi di pasar spot dan non-deliverable forward (NDF) senilai sekitar US$7 miliar pada Oktober 2025. Namun intervensi tersebut diperkirakan tidak bisa terus-menerus dilakukan tanpa menekan cadangan devisa.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menambahkan bahwa investor asing masih mencatatkan aliran keluar dari pasar obligasi pemerintah (SBN), sehingga tekanan terhadap rupiah tetap tinggi.
Selama kebijakan fiskal belum kembali disiplin dan BI belum memperkuat sinyal stabilitas moneter, rupiah akan sulit keluar dari tren pelemahan.
Meski demikian, beberapa analis memperkirakan potensi penguatan terbatas dalam jangka pendek jika inflasi terkendali dan The Fed mulai memangkas suku bunga pada Desember mendatang.
Sutopo memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.650–Rp16.750 per dolar AS dalam jangka pendek, dengan potensi penguatan terbatas ke area Rp16.400–Rp16.600 jika arus masuk modal asing kembali menguat.

