[Medan | 30 Juni 2025] Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2025 diproyeksikan mencatat surplus signifikan. Pemulihan ekspor pasca-libur Lebaran dan membaiknya kondisi perdagangan global menjadi pendorong utama. Surplus diperkirakan mencapai US$ 2,29 miliar, jauh di atas realisasi April sebesar US$ 158,8 juta.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pemulihan aktivitas industri setelah libur panjang mendorong ekspor naik 11,76% secara bulanan. Secara tahunan, ekspor masih tumbuh 3,84% meski melambat dari bulan sebelumnya. Permintaan dari Tiongkok membaik, tumbuh 1,8% bulanan dan 10,22% tahunan, setelah sebelumnya sempat melemah.
Di sisi lain, impor diperkirakan hanya naik tipis 1,49% month-to-month, melambat dari kenaikan tajam 8,8% di April. Secara tahunan, impor juga melambat ke 7,69%. Ini menunjukkan normalisasi setelah front-loading dan mencerminkan melemahnya permintaan domestik. Penurunan ekspor Tiongkok ke Indonesia sebesar 9,28% juga mencerminkan hal ini.
Namun, meski tensi dagang AS-Tiongkok mereda, tarif impor AS terhadap produk Tiongkok masih tinggi di kisaran 30%, yang tetap menekan harga komoditas ekspor utama Indonesia.
Secara makro, surplus dagang yang berkelanjutan menjaga defisit transaksi berjalan (CAD) tetap dalam batas aman. Josua memperkirakan CAD akan sedikit melebar menjadi 0,87% terhadap PDB tahun ini, dari 0,63% pada 2024. Namun, ruang pelonggaran moneter masih terbuka, terlebih bila rupiah stabil dan tekanan inflasi tetap rendah.
Ia juga menyoroti pentingnya kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sektor SDA dalam menopang cadangan devisa nasional. Dengan DHE berjalan optimal, cadangan devisa diperkirakan akan bertahan di kisaran US$ 153 hingga US$ 157 miliar, dan menopang stabilitas nilai tukar rupiah di level Rp 16.100–16.400 per dolar AS hingga akhir 2025.
Sementara itu, Kepala Ekonom BCA, David Sumual, memberikan proyeksi yang lebih optimistis. Ia memperkirakan surplus perdagangan Mei bisa mencapai US$ 4,02 miliar. Berdasarkan estimasinya, ekspor tumbuh 5,52% yoy dan 13,58% mtm, sedangkan impor hanya naik tipis 0,74% yoy dan bahkan turun 5,06% secara bulanan.
Menurut David, kondisi terms of trade Indonesia memang mengalami pelemahan, terutama karena penurunan harga CPO lebih tajam dibanding minyak dan batu bara. Namun, data internal menunjukkan penerimaan eksportir tetap lebih kuat dibanding belanja importir, mendukung potensi surplus dagang yang melebar.