[Medan | 2 Juni 2025] Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data neraca dagang Indonesia periode April 2025 pada Senin, 2 Juni 2025. Sejumlah ekonom memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia masih akan berlanjut, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya.
Ekonom Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, memperkirakan surplus neraca dagang April akan lebih kecil dari capaian Maret yang sebesar US$ 4,33 miliar. Penyempitan ini terjadi seiring turunnya harga sejumlah komoditas ekspor utama, seperti batubara, CPO, dan nikel. Namun, ekspor tetap ditopang oleh percepatan pengiriman barang dari eksportir yang mengantisipasi potensi pemberlakuan tarif baru oleh pemerintahan Donald Trump di AS.
Bank Mandiri memproyeksikan ekspor tumbuh sebesar 4,6% secara tahunan (yoy), meskipun turun 11,8% secara bulanan (mom). Dari sisi impor, pertumbuhan diperkirakan sebesar 5,5% yoy, namun terkoreksi 5,8% mom akibat normalisasi permintaan pasca libur Lebaran serta lemahnya aktivitas industri domestik yang tercermin dari PMI Manufaktur April yang hanya berada di level 46,7.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan surplus perdagangan April 2025 mencapai sekitar US$ 3,10 miliar, lebih rendah dari bulan sebelumnya. Ia menyoroti bahwa pelemahan ekspor dan impor pada bulan tersebut lebih banyak dipengaruhi faktor musiman, yakni libur panjang Idul Fitri, yang membuat aktivitas logistik dan perdagangan melambat.
Ekspor Indonesia, menurut Josua, diperkirakan turun 9,22% mom namun masih naik 7,60% yoy. Impor juga diprediksi menurun 4,83% mom dengan pertumbuhan tahunan sebesar 6,57% yoy. Penurunan impor yang lebih ringan disebabkan oleh percepatan pembelian barang sebelum potensi tarif balasan dari AS berlaku.
Di tengah sentimen pasar global, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China mulai mereda setelah kedua negara menyepakati penurunan tarif impor secara signifikan per 12 Mei 2025 untuk jangka waktu 90 hari. Ini menjadi angin segar bagi prospek ekonomi global karena dapat mendorong kembali permintaan.
Namun demikian, Josua mengingatkan bahwa risiko terhadap kinerja ekspor Indonesia masih tetap tinggi. Penurunan tarif AS terhadap China belum sepenuhnya mengembalikan kondisi seperti sebelum perang dagang, dan harga komoditas yang melemah serta perlambatan ekonomi China bisa terus menekan ekspor Indonesia.