[Medan | 2 Oktober 2025] Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi melakukan shutdown pada Rabu (1/10/2025) setelah Presiden Donald Trump dan Partai Republik gagal mencapai kesepakatan anggaran dengan Demokrat. Kondisi ini membuat sejumlah layanan non-esensial dihentikan sementara, mulai dari jaminan sosial, operasional pemerintahan federal, hingga wisata.
Meski fenomena shutdown bukan hal baru — sejak 1980 sudah terjadi beberapa kali — kali ini situasinya lebih genting karena terjadi saat ekonomi global melambat. Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menilai penutupan pemerintahan bisa memperburuk sentimen global. Investor cenderung mencari aset aman seperti emas, sementara permintaan domestik AS berisiko melemah, yang pada gilirannya bisa menekan ekspor Indonesia.
Dari sisi pasar, shutdown biasanya hanya memberikan dampak terbatas, dengan koreksi jangka pendek yang cepat pulih. Namun ancaman Trump untuk menjadikan PHK pegawai federal permanen menambah ketidakpastian, terutama karena pasar tenaga kerja AS saat ini sudah rapuh.
Selain itu, dampak besar juga terlihat pada ketersediaan data ekonomi. Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) terpaksa menghentikan publikasi data penting, termasuk laporan tenaga kerja bulanan dan inflasi. Hal ini menyulitkan The Fed yang sangat bergantung pada data tersebut untuk menentukan arah kebijakan suku bunga.
Bagi Indonesia, shutdown AS berpotensi memberi dua dampak utama. Pertama, pelemahan permintaan impor dari AS yang bisa menekan kinerja ekspor RI. Kedua, meningkatnya ketidakpastian global bisa memicu volatilitas pasar keuangan domestik, di mana investor asing cenderung menahan diri atau keluar dari aset berisiko, termasuk saham dan obligasi Indonesia.