[Medan | 6 Mei 2025] Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal I-2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 4,92%. Jika dibandingkan kuartal sebelumnya, ekonomi nasional mengalami kontraksi sebesar 0,98% (quarter to quarter/qtq).
Realisasi ini menjadi yang paling lambat dalam tiga setengah tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada kuartal IV-2024, ekonomi masih tumbuh 5,02% yoy. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kini kembali berada di titik terendah sejak kuartal III-2021.
Salah satu penyebab utama perlambatan ini adalah konsumsi rumah tangga, yang meskipun masih tumbuh 4,89% yoy, melambat dibandingkan 4,98% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan daya beli masyarakat yang mulai tertekan, meski ada dukungan musiman dari pengeluaran selama Ramadan dan Idulfitri.
Kontribusi terbesar kedua terhadap PDB, yakni Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi, juga mengalami perlambatan tajam. Pertumbuhannya turun signifikan menjadi hanya 2,12% yoy dari sebelumnya 5,03%. Perlambatan ini dipicu oleh tingginya suku bunga dan meningkatnya ketidakpastian global, yang membuat pelaku usaha cenderung bersikap wait and see dalam mengambil keputusan ekspansi.
Tak hanya itu, belanja pemerintah juga turut menekan pertumbuhan setelah tercatat mengalami kontraksi sebesar 1,38% yoy. Hal ini sejalan dengan kebijakan efisiensi fiskal yang ditempuh pemerintah di awal tahun.
Di sisi lain, ekspor barang dan jasa menjadi satu-satunya komponen yang memberikan dorongan cukup kuat dengan pertumbuhan 6,78% yoy. Lonjakan jumlah wisatawan mancanegara menjadi salah satu pendorong utama ekspor jasa. Sementara itu, impor tumbuh lebih lambat, yaitu 3,96% yoy, sejalan dengan pelemahan investasi dan permintaan domestik.
Secara keseluruhan, angka-angka ini mencerminkan momentum pertumbuhan ekonomi yang rapuh di dalam negeri. Ketidakpastian global dan meningkatnya tensi perdagangan mendorong perusahaan menunda ekspansi, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan secara tidak langsung menekan daya beli rumah tangga. Meski demikian, sebagai ekonomi terbuka dengan skala yang relatif kecil, Indonesia masih memiliki peluang untuk meredam tekanan eksternal, apalagi jika diplomasi dagang berhasil menghindari penerapan tarif resiprokal secara luas.
Dengan proyeksi ekonomi global yang juga melambat, ruang pelonggaran kebijakan moneter pun mulai terbuka. Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed semakin menguat, Bank Indonesia diperkirakan memiliki ruang untuk memangkas BI rate hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong konsumsi dan investasi kembali tumbuh, sekaligus menjaga daya saing perekonomian nasional.