[Medan | 5 Desember 2025] Ekspansi agresif industri petrokimia China memicu kekhawatiran kelebihan pasokan global. Gelombang pembangunan pabrik baru berpotensi meningkatkan tekanan terhadap negara produsen lain yang sudah menghadapi oversupply dan margin yang menyusut. China telah membangun tujuh kompleks petrokimia besar dalam satu dekade terakhir, menjadikannya produsen etilena dan polietilena terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat.
Ambisi Beijing untuk meningkatkan swasembada membuat lonjakan kapasitas produksi jauh melampaui kebutuhan domestik. Konsultan China JLC memproyeksikan produksi polietilena meningkat 18% tahun ini, lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi dalam negeri sebesar 10%, sehingga menurunkan kebutuhan impor hingga 13%. China merupakan konsumen plastik terbesar dunia dan masih mengimpor hampir 15 juta ton polietilena pada 2024, lebih tinggi dibanding total permintaan Eropa.
Kenaikan produksi domestik membuat pemasok global harus mencari pasar baru atau menutup fasilitas ekspor berbiaya tinggi. Di pasar berjangka, harga polietilena di Bursa Komoditas Dalian terkoreksi 13% sepanjang tahun karena tekanan suplai. Produsen besar seperti Sinopec mencatat kerugian signifikan pada divisi kimia akibat penurunan margin. Kapasitas China diperkirakan masih akan bertambah 16% tahun depan, meskipun kondisi oversupply berpotensi menahan sebagian realisasi investasi.
Sejumlah proyek besar baru beroperasi tahun ini, termasuk fasilitas Exxon Mobil di Guangdong dan pabrik Ningxia Baofeng Energy di Mongolia Dalam. Kompleks BASF SE di Guangdong yang dijadwalkan beroperasi tahun ini kemungkinan mengalami penundaan. Sementara itu, ekspor polietilena China meningkat tajam ke berbagai negara. Pengiriman ke Vietnam melonjak 88% sepanjang Januari–Oktober 2025, sementara ekspor ke Filipina, Bangladesh, Arab Saudi, dan Afrika juga meningkat.
Lonjakan kapasitas China semakin menekan produsen petrokimia Eropa, yang menghadapi biaya energi tinggi sejak perang Rusia–Ukraina. Sejumlah produsen telah merestrukturisasi atau menghentikan operasi karena tidak kompetitif. Uni Eropa menyiapkan rencana aksi perdagangan dan menerapkan pajak karbon mulai 2026 untuk melindungi industri dari kompetisi berbiaya rendah, terutama dari China.
Prospek permintaan minyak China
Di sisi lain, prospek permintaan minyak China pada 2026 diperkirakan melemah setidaknya hingga pertengahan tahun. Lambatnya pertumbuhan ekonomi, tekanan perang dagang yang dipicu Presiden AS Donald Trump, serta percepatan elektrifikasi transportasi menekan konsumsi energi. Bahkan sektor petrokimia, yang sebelumnya menjadi motor pertumbuhan permintaan minyak global, kini bergulat dengan kelebihan kapasitas.
Kondisi tersebut dapat menggeser pusat permintaan minyak menuju pasar Barat Terusan Suez, termasuk AS dan negara OECD lainnya yang diproyeksi mencatat pertumbuhan ekonomi positif. Pasar menunggu keputusan kebijakan dalam pertemuan Dua Sidang (National People’s Congress dan CPPCC). Stimulus ekonomi, penyesuaian kuota ekspor bahan bakar, maupun pembelian minyak untuk cadangan strategis (SPR) menjadi faktor penentu. Namun dengan stok yang masih tinggi, belum jelas seberapa agresif Beijing akan melakukan penambahan SPR.
