[Medan | 26 Maret 2025] Mata uang rupiah ditutup melemah 0,27% ke level Rp16.611 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari Selasa (25/3/2025). Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat menguat 0,18% ke posisi 104,122.
Nilai tukar rupiah saat ini berada pada level terlemah sejak krisis moneter 1998. Dalam krisis akibat pandemi lima tahun lalu, rupiah sempat menyentuh level Rp16.575 per dolar AS, sementara pada puncak krisis moneter 1998, rupiah mencatatkan level penutupan terendah di Rp16.650 per dolar AS pada 17 Juni 1998.
Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah kali ini terjadi bersamaan dengan aksi profit taking investor yang mengantisipasi libur panjang. Kekhawatiran terhadap ketidakpastian selama periode libur menjadi faktor utama di balik langkah investor untuk mengamankan keuntungan. Dari sisi eksternal, Myrdal juga menyoroti perkembangan perang dagang antara AS dengan Meksiko dan Kanada, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 2 April 2025, sebagai faktor tambahan yang membebani rupiah.
Selain itu, capital outflow masih menjadi tantangan bagi Indonesia, terutama di pasar saham. Data menunjukkan bahwa investor asing mencatatkan jual neto sebesar Rp4,25 triliun selama periode 17-20 Maret 2025. Rinciannya, terjadi jual neto Rp4,78 triliun di pasar saham, beli neto Rp1,20 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan jual neto Rp0,67 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Tekanan jual di bursa saham diperparah oleh sejumlah isu domestik terkait kebijakan pemerintah. Beberapa faktor yang menjadi perhatian investor adalah kontroversi seputar Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), permasalahan Koperasi Merah Putih, spekulasi mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta kekhawatiran terhadap pelebaran defisit fiskal. Situasi ini mendorong meningkatnya arus keluar dana asing dan menekan rupiah lebih lanjut.
Meskipun pemerintah berupaya melakukan pemulihan ekonomi, sejumlah proyek strategis justru mendapat sorotan negatif. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dihentikan di beberapa daerah dan kekhawatiran terhadap transparansi serta akuntabilitas pengelolaan Danantara menjadi faktor yang menekan sentimen pasar. Investor asing cenderung menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum kembali masuk ke pasar Indonesia, mengingat implementasi kebijakan-kebijakan tersebut masih belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Adapun analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai bahwa sikap dovish The Federal Reserve, yang tidak menurunkan suku bunga acuan, memang dapat melemahkan dolar AS. Namun, hal itu tidak serta merta mendukung penguatan rupiah karena faktor domestik masih menjadi tantangan utama. Kekhawatiran terhadap defisit anggaran, penurunan peringkat saham dan obligasi, serta prospek pertumbuhan ekonomi yang melemah terus menekan nilai tukar rupiah.
Dalam kondisi ini, Bank Indonesia (BI) diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga, meskipun inflasi sudah rendah dan pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Kebijakan ini diambil demi menjaga stabilitas rupiah. Menurut Lukman, satu-satunya cara untuk menahan pelemahan rupiah saat ini adalah melalui intervensi. Tanpa langkah intervensi dari Bank Indonesia (BI), rupiah berpotensi menembus level Rp17.000 per dolar AS dalam waktu dekat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan melemah hingga Rp20.000 per dolar AS.