[Medan | 23 Agustus 2024] Rupiah mengalami pelemahan signifikan pada hari Kamis (22/8/2024), mencatat penurunan terbesar sejak pertengahan Juni lalu. Sentimen negatif yang mempengaruhi rupiah berasal dari situasi politik dalam negeri yang memanas akibat polemik RUU Pilkada, yang menuai protes luas dari masyarakat. Selain itu, defisit transaksi berjalan yang lebih lebar dari ekspektasi pasar turut membebani nilai tukar rupiah.
Pada penutupan pasar spot, rupiah melemah 0,72% ke level Rp15.600/US$, setelah sempat terperosok hingga Rp15.618/US$ di intraday. Pelemahan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan mata uang lainnya di Asia, di mana yen Jepang yang melemah paling besar setelah rupiah hanya turun 0,16%. Mata uang lain yang ikut melemah antara lain won Korea, baht Thailand, dolar Singapura, rupee India, yuan China, dan dolar Hong Kong.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami penurunan, ditutup turun 0,87% di level 7.488. Sementara itu, pasar surat utang negara (SBN) menunjukkan tekanan jual hampir di semua tenor, dengan kenaikan imbal hasil sebagai indikasi. Yield SBN-10Y naik 3,9 basis poin ke 6,631%, disusul oleh yield tenor 2Y yang naik 1,2 basis poin ke 6,440%, dan tenor 5Y yang naik 3,6 basis poin ke 6,502%. Tenor panjang 15Y dan 20Y juga mengalami kenaikan yield masing-masing 3,3 basis poin ke 6,753% dan 2,5 basis poin ke 6,844%.
Lukman Leong, analis komoditas dan pasar uang, memperkirakan bahwa rupiah masih akan bergerak datar dengan potensi penguatan terbatas terhadap dolar AS. Meski dolar AS sedikit tertekan akibat pernyataan dovish dari Ketua The Fed Jerome Powell dalam risalah pertemuan terakhir, sentimen tersebut masih sesuai dengan harapan pasar. Menurut Lukman, kondisi politik di Indonesia juga berpotensi memengaruhi pergerakan rupiah, meskipun ia menilai bahwa faktor eksternal dan prospek suku bunga The Fed masih lebih dominan dalam menentukan arah pergerakan rupiah ke depannya.