[Medan | 21 Februari 2025] Risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 28-29 Januari 2025 menunjukkan bahwa The Fed masih berhati-hati dalam memangkas suku bunga, mengingat inflasi AS yang masih tinggi dan ketidakpastian kebijakan ekonomi. Para pejabat The Fed menegaskan bahwa mereka perlu melihat penurunan inflasi lebih lanjut sebelum mengambil langkah pemangkasan suku bunga.
Data terbaru menunjukkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) AS naik 0,5% secara bulanan (MoM) pada Januari 2025, lebih tinggi dari estimasi Dow Jones sebesar 0,3%. Dengan demikian, inflasi tahunan mencapai 3%, melampaui perkiraan konsensus yang berada di angka 2,9%.
Salah satu faktor yang menjadi perhatian adalah kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump, yang berpotensi mempertahankan inflasi di atas target 2%. Trump berencana mengenakan tarif baru sebesar 25% terhadap mobil, obat-obatan, dan semikonduktor mulai April 2025, yang dapat memicu kenaikan harga barang dan memperlambat penurunan inflasi.
Dengan kondisi ini, pelaku pasar kini memperkirakan kemungkinan pemangkasan suku bunga baru akan terjadi pada Juli atau September 2025. Ekonom Senior M. Chatib Basri juga menyoroti bahwa ruang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga semakin terbatas. Ia menjelaskan bahwa tiga kebijakan Trump yang berkaitan dengan tarif perdagangan, kebijakan energi, dan regulasi industri diperkirakan akan berdampak pada inflasi global, termasuk di Indonesia.
Dengan The Fed yang masih menahan suku bunga lebih lama, pasar obligasi Indonesia berpotensi mengalami volatilitas jangka pendek. Yield obligasi kemungkinan tetap tinggi karena investor global cenderung menahan alokasi ke aset negara berkembang hingga ada kepastian pemangkasan suku bunga AS. Namun, jika The Fed akhirnya memangkas suku bunga pada paruh kedua 2025, investor bisa mulai mengantisipasi pergerakan bullish di pasar obligasi Indonesia.