[Medan | 31 Juli 2025] Pada 30 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani deklarasi yang menetapkan tarif impor sebesar 50% untuk produk tembaga setengah jadi dan produk turunan intensif tembaga, efektif mulai 1 Agustus 2025.
Kebijakan ini dibuat berdasarkan temuan keamanan nasional melalui investigasi Section 232, dan bertujuan memperkuat industri tembaga domestik AS sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor dari luar negeri.
Namun, pemerintah AS mengecualikan produk tembaga mentah dan hasil olahan tingkat hulu, termasuk bijih, konsetrat, anoda, katoda, hingga scrap, dari pengenaan tarif tersebut. Langkah ini juga dibarengi kebijakan domestik yang mewajibkan 25% scrap tembaga berkualitas dipasarkan di dalam negeri, angka yang akan bertambah menjadi 30% pada 2028 dan 40% pada 2029.
Reaksi pasar terhadap kebijakan ini sangat dinamis. Harga tembaga di bursa New York COMEX sempat melonjak rekor hingga US$ 5,95/lb (naik hampir 17%), sebelum kemudian merosot sekitar 18% menjadi US$ 4,60/lb setelah diumumkan bahwa refined copper dikecualikan dari tarif. Lonjakan tersebut mencerminkan spekulasi dan perubahan arsitektur pasar akibat ketidakjelasan detail kebijakan awal.
Analis memperingatkan bahwa kebijakan ini akan meningkatkan biaya bahan baku bagi sektor industri AS seperti otomotif, elektronik, server data center, dan komponen teknologi lainnya. Biaya input yang melonjak berisiko menurunkan daya saing produk domestik dan memunculkan potensi demand destruction, dimana konsumsi menurun karena kenaikan harga bahan baku sementara pasokan domestik belum mencukupi.
Di sisi geopolitik, kebijakan ini memperdalam ketegangan perdagangan global. Negara-negara eksportir utama seperti Cile, Peru, Kanada, dan Meksiko kemungkinan akan terdampak harga dan aliran ekspor ke AS, walaupun beberapa negosiasi eksklusi tengah berlangsung terutama bagi pemasok utama seperti Cile.