[Medan | 20 Juni 2025] Harga minyak mentah global melonjak hampir 3% pada Kamis (19/6), dipicu meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran, serta kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan keterlibatan militer Amerika Serikat.
Harga minyak Brent ditutup di kisaran US$78,85 per barel, menjadi level tertinggi sejak awal tahun, sementara West Texas Intermediate (WTI) juga menguat ke posisi US$77,20 per barel.
Kenaikan harga ini terutama dipicu kekhawatiran akan terganggunya pasokan energi global. Iran, sebagai salah satu produsen utama dalam kelompok OPEC dengan output sekitar 3,3 juta barel per hari, memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi minyak global.
Ketegangan juga memunculkan risiko penutupan Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui 18 hingga 21 juta barel minyak setiap harinya. Ketidakpastian mengenai apakah Amerika Serikat akan terlibat langsung dalam konflik tersebut semakin memperbesar kekhawatiran pasar.
JP Morgan menyatakan bahwa jika konflik kian meluas dan menyebabkan penutupan Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa melonjak ke kisaran US$120–130 per barel. Sementara itu, Goldman Sachs menilai bahwa harga Brent dapat memuat tambahan risiko hingga US$10 per barel, yang berarti kemungkinan menembus US$90 apabila pasokan dari Iran terganggu.
Meski demikian, analis meyakini bahwa respons cepat dari negara-negara produsen minyak lain, baik melalui peningkatan produksi OPEC+ maupun pengalihan pembeli minyak Iran ke pemasok alternatif, berpotensi menahan lonjakan harga dalam jangka pendek.
Di sisi lain, lonjakan harga minyak global ini berdampak langsung pada beban impor energi Indonesia. Dengan struktur ekonomi yang masih bergantung pada impor BBM, kenaikan harga minyak akan memperbesar tekanan terhadap anggaran negara.
Para ekonom memperkirakan hal ini bisa memperlebar defisit fiskal dan mendorong kenaikan inflasi dalam negeri, terutama di sektor transportasi dan energi rumah tangga. Pemerintah perlu mencermati dinamika ini agar stabilitas fiskal dan daya beli masyarakat tetap terjaga.