PT Fawz Finansial Indonesia
Newsletter Bonds Market
15 Desember 2024
Benchmark Series
Series | Maturity Date | Coupon | Price 15/11/2024 | Price 1/12/2024 | Price Changes |
FR0102 | 15 Jul 2054 | 6,875% | 99,70 | 97,80 | 0,1% |
FR0101 | 15 Apr 2029 | 6,875% | 100,45 | 100,03 | -0,4% |
FR0100 | 15 Feb 2034 | 6,625% | 98,30 | 97,70 | -0,6% |
FR0098 | 15 Jun 2038 | 7,125% | 101,15 | 100,60 | -0,5% |
FR0097 | 15 Jun 2043 | 7,125% | 100,85 | 100,50 | -0,3% |
Obligasi Terlaris Berdasarkan Volume
Series | Avg Price | Volume (bio) | Freq |
FR0103 | 97.80 | 2,961.31 | 221.00 |
FR0056 | 102.41 | 2,633.90 | 26.00 |
FR0104 | 98.26 | 2,071.89 | 47.00 |
FR0047 | 109.01 | 1,620.00 | 6.00 |
FR0068 | 108.78 | 1,616.26 | 32.00 |
Benchmark All Time High (ATH) & All Time Low (ATL)
Series | Yield | Bid | Offer | |||
ATL | ATH | ATL | ATH | ATL | ATH | |
FR0102 | 6,82% | 7,11% | 97,10 | 101,85 | 95,50 | 100,75 |
FR0101 | 6,28% | 7,02% | 99,40 | 103,30 | 98,55 | 102,80 |
FR0100 | 6,29% | 7,16% | 96,15 | 102,50 | 95,50 | 101,70 |
FR0097 | 6,34% | 7,51% | 95,99 | 108,30 | 94,99 | 108,05 |
FR0096 | 6,07% | 7,67% | 95,58 | 106,70 | 94,89 | 105,75 |
Macro Highlights
( 1 – 15 Desember 2024)
Amerika Serikat
- PMI Manufaktur AS
PMI Manufaktur AS Global S&P direvisi lebih tinggi menjadi 49,7 pada November 2024 dari angka awal 48,8, dan dibandingkan dengan 48,5 pada Oktober, yang menunjukkan hampir stabilisasi di sektor manufaktur.
- PMI Jasa AS
PMI Jasa ISM AS menurun menjadi 52,1 pada November 2024, lebih rendah dari 56 pada Oktober dan di bawah ekspektasi 55,5. Ini menandakan pertumbuhan sektor jasa paling lambat dalam tiga bulan terakhir.
- Jumlah Lowongan Pekerjaan JOLTs
Lowongan pekerjaan di AS meningkat sebesar 372.000 menjadi 7,744 juta pada Oktober 2024, naik dari 7,372 juta di September setelah revisi, dan melampaui perkiraan pasar sebesar 7,48 juta.
- Neraca Dagang, Ekspor dan Impor
Defisit perdagangan AS mengecil menjadi $73,8 miliar pada Oktober 2024 dari $83,8 miliar di bulan sebelumnya setelah revisi, lebih baik dari estimasi $75 miliar. Ekspor turun 1,6% menjadi $265,7 miliar, sementara impor merosot 4% menjadi $339,6 miliar.
- Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran AS meningkat ke 4,2% pada November 2024 dari 4,1% di Oktober, sesuai ekspektasi pasar. Jumlah pengangguran bertambah 161.000 menjadi 7,145 juta, sementara jumlah pekerja turun 355.000 menjadi 161,141 juta.
- Inflasi Inti
Inflasi harga konsumen inti tahunan, yang tidak mencakup makanan dan energi, stabil di 3,3% pada November 2024, tidak berubah sejak September, sesuai ekspektasi pasar. Secara bulanan, inflasi inti naik 0,3% di November, melanjutkan tren selama tiga bulan terakhir.
- Inflasi
Tingkat inflasi tahunan AS naik untuk bulan kedua berturut-turut menjadi 2,7% pada November 2024 dari 2,6% di Oktober, sesuai proyeksi. Secara bulanan, CPI meningkat 0,3%, tertinggi sejak April, sedikit di atas 0,2% pada Oktober, sesuai prediksi.
- Klaim Pengangguran
Klaim pengangguran awal di AS meningkat 17.000 menjadi 242.000 pada pekan pertama Desember, lebih tinggi dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan menjadi 220.000. Ini merupakan kenaikan klaim tertajam sejak Oktober.
- Harga Produsen Inti (PPI)
Harga produsen inti di AS, yang mengecualikan biaya makanan dan energi, naik 0,2% pada November 2024, lebih rendah dari kenaikan 0,3% di Oktober, sesuai ekspektasi pasar. Ini adalah kenaikan terkecil dalam empat bulan terakhir. Secara tahunan, inflasi produsen inti mencapai 3,4% pada November, tertinggi sejak Februari 2023, melampaui estimasi pasar sebesar 3,2%.
China
- PMI Manufaktur
Indeks PMI Manufaktur Caixin untuk Tiongkok meningkat ke 51,5 pada November 2024 dari 50,3 di Oktober, melampaui ekspektasi pasar sebesar 50,5. Ini merupakan kenaikan selama dua bulan berturut-turut sekaligus menunjukkan ekspansi tercepat aktivitas pabrik sejak Juni.
- PMI Jasa
PMI Layanan Caixin Tiongkok turun ke 51,5 pada November 2024 dari 52,0 di Oktober, yang merupakan level tertinggi dalam tiga bulan. Angka ini juga di bawah perkiraan pasar sebesar 52,5.
- Cadangan Devisa
Cadangan devisa Tiongkok bertambah $4,8 miliar menjadi $3,266 triliun pada November 2024, melampaui prediksi pasar yang memperkirakan penurunan ke $3,23 triliun, dan naik dari $3,261 triliun pada Oktober.
- Inflasi
Inflasi tahunan di Tiongkok secara tak terduga melambat menjadi 0,2% pada November 2024 dari 0,3% pada Oktober, lebih rendah dari ekspektasi sebesar 0,5%, sekaligus mencatatkan angka terendah sejak Juni. Inflasi inti, yang tidak mencakup makanan dan energi, naik 0,3% yoy, tertinggi dalam tiga bulan, setelah kenaikan 0,2% di bulan sebelumnya. Secara bulanan, CPI turun 0,6%, lebih besar dari penurunan 0,3% di Oktober dan perkiraan sebesar 0,4%, menandai penurunan terdalam sejak Maret.
- Neraca Dagang, Ekspor dan Impor
Surplus perdagangan Tiongkok naik menjadi USD 97,44 miliar pada November 2024, lebih tinggi dari USD 69,45 miliar di bulan yang sama tahun lalu dan melampaui estimasi USD 95 miliar. Ini merupakan surplus terbesar sejak Juni, didorong oleh kenaikan ekspor sebesar 6,7% yoy, meskipun lebih lambat dibandingkan lonjakan 12,7% di Oktober. Sebaliknya, impor turun secara mengejutkan sebesar 3,9%, setelah penurunan 2,3% di bulan sebelumnya, meleset dari prediksi kenaikan sebesar 0,3%.
- Penjualan Kendaraan
Penjualan kendaraan di Tiongkok melonjak 11,7% secara tahunan menjadi 3,316 juta unit pada November 2024, naik signifikan dari peningkatan 7% di bulan sebelumnya. Ini menandai pertumbuhan selama dua bulan berturut-turut, dipicu oleh peluncuran kebijakan pemerintah. Secara bulanan, penjualan kendaraan meningkat 8,6%.
Image source: AP/ beritariau.com
Indonesia
- Data PMI Manufaktur
PMI Manufaktur S&P Global untuk Indonesia naik tipis ke 49,6 pada November 2024. Meskipun ada peningkatan dari bulan sebelumnya, angka ini tetap berada di bawah level 50, menunjukkan penurunan aktivitas manufaktur selama lima bulan berturut-turut.
- Inflasi
Inflasi tahunan Indonesia melambat ke 1,55% pada November 2024, level terendah sejak Juli 2021, meskipun sedikit melampaui ekspektasi pasar sebesar 1,5%. Inflasi inti naik ke 2,26%, di atas perkiraan 2,20%. Secara bulanan, CPI naik 0,30%, tertinggi dalam delapan bulan terakhir, sedikit lebih tinggi dibandingkan konsensus sebesar 0,26%.
- Jumlah Kunjungan Wisatawan
Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di Indonesia pada Oktober 2024 tumbuh 22,01% secara tahunan menjadi 1,19 juta orang. Wisatawan mancanegara terbanyak berasal dari Malaysia (40,05%), Singapura (18,42%), Filipina (13,59%), Thailand (1,01%), Tiongkok (26,52%), India (14,41%), Jepang (22,50%), Korea Selatan (18,59%), dan Australia (16,67%).
- Cadangan Devisa
Cadangan devisa Indonesia pada November 2024 tercatat sebesar USD 150,2 miliar, turun tipis dari rekor tertinggi USD 151,2 miliar pada Oktober. Jumlah ini cukup untuk membiayai 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
- Penjualan Motor & Mobil
Penjualan sepeda motor anjlok 10,3% yoy menjadi 512.942 unit pada November 2024, membalikkan pertumbuhan 5,4% di bulan sebelumnya. Penjualan mobil turun lebih tajam sebesar 11,9% yoy menjadi 74.347 unit, melanjutkan tren penurunan selama 17 bulan berturut-turut.
- Indeks Keyakinan Konsumen
Keyakinan konsumen Indonesia melonjak ke 125,9 pada November 2024 dari 121,1 di bulan sebelumnya, mencapai level tertinggi sejak April, mencerminkan optimisme yang meningkat di kalangan konsumen.
- Penjualan Ritel
Penjualan ritel tumbuh 1,5% yoy pada Oktober 2024, melambat dari kenaikan 4,8% di bulan sebelumnya. Ini merupakan bulan keenam berturut-turut ekspansi, tetapi dengan laju paling lambat sejak Januari. Secara bulanan, penjualan ritel hanya naik 0,01%, setelah mengalami penurunan 2,5% di September.
Indonesia Mau Gabung BRICS di Tengah Ancaman Tarif Trump, Apa Dampaknya Untuk Pasar Obligasi?
Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk bergabung dengan BRICS, meskipun menghadapi ancaman dari Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, menyatakan bahwa ketertarikan Indonesia untuk bergabung didorong oleh keinginan mendukung kemajuan serta kepentingan negara-negara berkembang di kawasan selatan (global south).
Sebagai informasi, BRICS merupakan aliansi ekonomi yang terdiri dari negara-negara berkembang, awalnya digagas oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Saat ini, keanggotaan penuh BRICS telah diperluas mencakup Iran, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
BRICS bukan hanya sekadar forum ekonomi, melainkan juga bertujuan memperkuat pengaruh negara-negara berkembang, menantang dominasi negara maju, dan menciptakan sistem keuangan global yang lebih inklusif, termasuk melalui inisiatif de-dolarisasi. Langkah de-dolarisasi inilah yang mendorong ancaman Trump untuk memberlakukan tarif 100% kepada negara-negara anggota BRICS jika kebijakan mereka dianggap melemahkan dolar AS.
Lantas, apa PRO dan KONTRA dari rencana Indonesia untuk bergabung dengan BRICS?
PRO:
1. Peluang Investasi yang Lebih Besar
Keanggotaan dalam BRICS dapat meningkatkan kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, terutama karena BRICS dikenal sebagai blok negara dengan ekonomi yang sedang berkembang dan memiliki daya tarik besar untuk peluang usaha.
2. Diversifikasi Kerjasama Ekonomi
Keanggotaan ini membuka kesempatan bagi Indonesia untuk memperluas hubungan dengan negara-negara seperti China, Rusia, dan India, menciptakan peluang baru dalam bidang perdagangan dan investasi.
3. Mengurangi Ketergantungan pada Dolar AS
Melalui inisiatif de-dolarisasi yang didukung BRICS, Indonesia dapat memanfaatkan perdagangan dengan mata uang lokal antaranggota, sehingga mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar yang dipengaruhi oleh kebijakan AS.
4. Mempercepat Pembangunan Infrastruktur
Melalui kerjasama dengan BRICS, Indonesia bisa mendapatkan akses ke pendanaan proyek pembangunan melalui New Development Bank (NDB) yang didirikan oleh BRICS untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan.
5. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Kerja Sama Dagang
BRICS memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan perdagangan regional dan antaranggota. Melalui perjanjian dagang yang lebih fleksibel dan akses ke pasar yang lebih luas, Indonesia bisa meningkatkan daya saing ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan.
KONTRA:
1. Potensi Gangguan Hubungan dengan AS
Bergabungnya Indonesia dengan BRICS berpotensi merenggangkan hubungan dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi mitra dagang dan sumber investasi utama. Ini bisa berdampak pada sektor perdagangan dan investasi yang selama ini bergantung pada kerja sama dengan negara-negara tersebut.
2. Potensi Kebergantungan pada Pasar BRICS
Dengan bergabung ke dalam BRICS, ada risiko bahwa Indonesia akan menjadi bergantung pada dinamika ekonomi dan kebijakan internal negara-negara anggota BRICS, seperti China dan Rusia.
Di satu sisi, bergabung dengan BRICS membuka peluang besar bagi Indonesia, seperti akses ke pasar anggota BRICS yang memiliki ekonomi besar seperti China, Rusia, dan India. Selain itu, keanggotaan ini juga memberikan peluang untuk mendiversifikasi kerjasama ekonomi, memanfaatkan fasilitas pembiayaan dari New Development Bank (NDB), serta memperkuat posisi diplomatik dan geopolitik Indonesia di kancah internasional.
Namun, di sisi lain, bergabung dengan BRICS juga membawa risiko yang signifikan. Salah satunya adalah potensi ketegangan dengan Amerika Serikat dan investor Barat yang mungkin memandang keanggotaan ini sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka. Risiko lainnya adalah ketergantungan pada negara-negara anggota BRICS, volatilitas ekonomi, serta konflik kepentingan dengan negara lain dalam BRICS.
Jadi, bagaimana prospek pasar obligasi jika Indonesia bergabung dengan BRICS?
1. Rupiah Berpotensi Menguat
Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, kemungkinan besar akan ada pengaruh positif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Keanggotaan ini membuka peluang arus modal dari investor anggota BRICS seperti China, Rusia, dan India. Arus modal yang masuk bisa memperkuat cadangan devisa dan meningkatkan kepercayaan investor asing, yang berpotensi membuat rupiah menguat.
2. Suku Bunga Berpotensi Turun
Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, arus modal yang positif dan akses pembiayaan dari New Development Bank (NDB) dapat membantu mendukung proyek-proyek pemerintah dan mengurangi tekanan pada kebijakan moneter. Dengan begitu, ada potensi Bank Indonesia (BI) mempertahankan kebijakan suku bunga yang fleksibel atau bahkan memangkas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama jika inflasi tetap terkendali.
3. Yield Obligasi Berpotensi Menurun
Jika arus modal dari negara-negara BRICS masuk ke pasar obligasi Indonesia, hal ini dapat menekan yield obligasi menjadi lebih rendah. Investor dari BRICS yang berinvestasi dalam obligasi pemerintah Indonesia akan meningkatkan permintaan, yang mengarah pada penurunan imbal hasil (yield).
Adapun yield obligasi 10 tahun Indonesia menunjukkan tren kenaikan, tercatat berada di level 7,074% pada 12 Desember 2024. Kenaikan yield obligasi ini berpengaruh langsung pada Indonesia Composite Bond Index (ICBI), yang mencerminkan performa rata-rata obligasi pemerintah dan korporasi di pasar Indonesia. Ketika yield obligasi meningkat, ICBI cenderung mengalami penurunan. Hal ini terlihat pada Indeks ICBI yang tercatat pada 12 Desember 2024 berada di level 392,2.
Peningkatan yield obligasi 10 tahun Indonesia saat ini sebagian besar dipengaruhi oleh pelemahan mata uang rupiah, yang bahkan mendekati level Rp 16.000 per dolar AS. Pada perdagangan Jumat (13/12/2024), rupiah dibuka melemah sebesar 0,13%, tercatat di level Rp 15.965 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini memberikan dampak terhadap imbal hasil obligasi, yang cenderung meningkat seiring dengan tekanan pada nilai tukar.
Pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh rilis sejumlah data ekonomi AS yang mempengaruhi sentimen pasar. Indeks Harga Konsumen (CPI) AS untuk bulan November mencatatkan kenaikan sebesar 2,7% secara tahunan, sejalan dengan perkiraan sebelumnya. Sementara itu, Core CPI yang tidak memasukkan makanan dan energi mengalami kenaikan sebesar 3,3%, juga sesuai dengan ekspektasi. Selain itu, Indeks Harga Produsen (PPI) untuk permintaan akhir naik sebesar 0,4% dari bulan sebelumnya, sedangkan indikator PPI yang tidak termasuk makanan dan energi naik 0,2% dalam satu bulan dan mengalami kenaikan 3,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Data inflasi ini membuat kebijakan suku bunga The Fed berpotensi lebih berhati-hati dalam memangkas suku bunga, meskipun tidak dalam waktu dekat. Berdasarkan analisis dari CME Fedwatch, pasar memprediksi probabilitas sebesar 96,4% bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin pada pertemuan yang dijadwalkan pada 18 Desember mendatang.
Meskipun The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunganya pada Desember ini, prospek pelonggaran moneter AS sepanjang tahun 2025 kemungkinan akan terhambat. Banyak analis memprediksi penurunan angka pertumbuhan ekonomi akibat kekhawatiran inflasi yang sulit ditekan, terlebih dengan kebijakan baru yang mungkin akan diimplementasikan oleh Donald Trump setelah ia menjabat kembali pada 20 Januari 2025.
Sebagai informasi, Trump diperkirakan akan memperkenalkan kebijakan yang bisa memicu lonjakan inflasi, seperti pemangkasan pajak dan kebijakan tarif impor yang lebih agresif. Jika kebijakan ini mempengaruhi daya beli masyarakat dan fiskal AS, maka inflasi bisa meningkat dan berdampak pada kebijakan suku bunga The Fed di awal 2025.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan memangkas suku bunga sebanyak 25 basis poin menjadi 5,75% pada kuartal terakhir 2024, tepatnya pada 24 Desember 2024. Penurunan ini diperkirakan akan berlanjut pada 2025 hingga mencapai 5,50%.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan ini, obligasi dengan tenor panjang menjadi salah satu instrumen yang menarik. Penurunan suku bunga dari The Fed dan BI akan meningkatkan daya tarik obligasi tenor panjang, karena harga obligasi cenderung naik ketika suku bunga menurun. Bahkan, harga beberapa obligasi tenor panjang saat ini masih berada di bawah level nominal (par value), memberikan peluang kepada investor untuk membelinya dengan harga yang lebih murah. Jika penurunan suku bunga benar-benar terjadi, baik dari The Fed maupun BI, harga obligasi tenor panjang memiliki potensi apresiasi yang signifikan.
Rekomendasi:
FR0097, FR0098, FR0100, FR0102, FR0103, FR0104, Indois 34, Indon 47, Indon 45, Indon 49
Disclaimer:
Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.
By Aurel Fawz Finansial Indonesia