IkutinIkutinIkutin
  • Ekonomi
  • Tren
  • Teknologi
  • Newsletter
  • Data Pasar
  • Lowongan
  • Kontak
IkutinIkutin
  • Ekonomi
  • Tren
  • Teknologi
  • Newsletter
  • Data Pasar
  • Lowongan
  • Kontak
Jelajah
  • Ekonomi
  • Tren
  • Teknologi
  • Newsletter
  • Data Pasar
  • Lowongan
  • Kontak
Follow US
2024 ©️ Fawz Finansial Indonesia. All Rights Reserved.
Newsletter

Jeda Tarif AS Berakhir 9 Juli, Obligasi Bakal Kembali Meroket?

By Aurelia Tanu 17 hours ago Newsletter
Image source: AP/ thejakartapost.com
SHARE

PT Fawz Finansial Indonesia
Newsletter Bonds Market
1 Juli  2025


Benchmark Series

Series Maturity Date Coupon Price 13/6/2025 Price 1/7/2025 Price Changes
FR0106 15 Aug 2040 7,125% 102.10 102.20 0.1%
FR0103 15 Jul 2035 6,750% 100.60 101.45 0.8%
FR0104 15 Jul 2030 6,500% 101.05 101.35 0.3%
FR0098 15 Jun 2038 7,125% 102.85 103.00 0.1%
FR0097 15 Jun 2043 7,125% 101.90 101.80 0.1%

Obligasi Terlaris Berdasarkan Volume 

Series Avg Price Volume (bio) Freq
FR0103 100.83 4,509.53 209.00
FR0104 100.90 2,079.15 52.00
FR0059 101.79 1,716.63 20.00
FR0056 102.96 1,583.00 19.00
PBS030 99.10 1,147.74 98.00

Benchmark All Time High (ATH) & All Time Low (ATL)

Series Yield Bid Offer
ATL ATH ATL ATH ATL ATH
FR0106 6,90% 7,34% 98,04 102,20 97,71 101,30
FR0103 6,28% 7,21% 96,65 103,60 96,65 102,90
FR0104 6,05% 7,06% 97,50 102,20 96,50 101,45
FR0098 6,21% 7,24% 99,15 108,80 98,05 107,80
FR0097 6,34% 7,49% 96,20 108,80 94,99 108,05

Macro Highlights

(15 Juni – 1 Juli 2025)

Image source: AP/ sharecast.com

Amerika Serikat 

  • Penjualan Ritel 

Pertumbuhan perdagangan ritel AS melambat menjadi 3,3% tahun-ke-tahun pada Mei 2025 dari 5,0% yang direvisi turun pada bulan sebelumnya.

  • Industri Produksi

Kesenjangan perdagangan AS menyempit tajam menjadi $61,6 miliar pada April 2025, terendah sejak September 2023, dibandingkan dengan kesenjangan $138,3 miliar pada Maret. Impor menyusut 16,3% ke level terendah enam bulan sebesar $351 miliar, setelah melonjak ke level tertinggi sepanjang masa sebesar $419,4 miliar pada Maret untuk mengantisipasi lebih banyak pengumuman tarif. Sementara itu, ekspor naik 3% ke rekor $289,4 miliar.

  • Klaim Pengangguran Awal

Klaim pengangguran awal di AS turun 10.000 dari minggu sebelumnya menjadi 236.000 pada minggu yang berakhir pada 21 Juni, lebih rendah dari ekspektasi pasar bahwa klaim tersebut tidak akan berubah. Namun, hasilnya tetap jauh di atas rata-rata tahun ini, yang menunjukkan adanya pelunakan di pasar tenaga kerja AS. 

  • Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi AS berkontraksi pada tingkat tahunan sebesar 0,5% pada Q1 2025, penurunan yang lebih tajam dari estimasi kedua sebesar 0,2% dan kontraksi triwulanan pertama dalam tiga tahun. Angka PDB yang lebih lemah sebagian besar didorong oleh revisi ke bawah yang signifikan terhadap belanja konsumen dan ekspor. Belanja konsumen naik hanya 0,5%, laju paling lambat sejak penurunan tajam tahun 2020, turun dari 1,2% pada estimasi sebelumnya. Ekspor hanya tumbuh 0,4% dibandingkan dengan estimasi sebelumnya sebesar 2,4%. Penurunan ini hanya sebagian diimbangi oleh revisi ke bawah pada impor (37,9% vs 42,6%).

  • Inflasi Inti

Indeks harga inti PCE di AS, yang tidak termasuk harga yang bergejolak dan energi, naik sebesar 2,7% dari tahun sebelumnya pada bulan Mei 2025, di atas ekspektasi pasar sebesar 2,6%. Inflasi tahunan PCE di AS meningkat menjadi 2,3% pada bulan Mei 2025 dari 2,2% yang direvisi naik pada bulan April yang merupakan level terendah dalam tujuh bulan, dan sejalan dengan ekspektasi pasar

  • PMI Manufaktur

PMI Manufaktur AS Flash Global S&P bertahan di angka 52 pada Juni 2025, sama seperti pada Mei, dan di atas perkiraan 51, menandakan laju ekspansi di sektor manufaktur yang sesuai dengan level tertinggi 15 bulan pada Mei. 

Image source: AP/ cnbc.com

China

  • Produksi Industri 

Produksi industri Tiongkok naik sebesar 5,8% yoy pada Mei 2025, melambat dari pertumbuhan 6,1% pada April dan gagal mencapai konsensus pasar sebesar 5,9%. Ini adalah peningkatan paling lambat sejak November 2024, karena tekanan tarif AS membebani permintaan luar negeri dan produksi domestik.

  • Penjualan Ritel

Penjualan ritel Tiongkok meningkat sebesar 6,4% secara tahunan pada bulan Mei 2025, meningkat dari 5,1% pada bulan sebelumnya dan melampaui ekspektasi pasar sebesar 5%. Hal ini menandai laju terkuat sejak Desember 2023, didorong oleh peningkatan belanja liburan selama Hari Buruh dan Festival Perahu Naga, bersamaan dengan upaya Beijing untuk meredam dampak tekanan tarif AS dan subsidi pemerintah terhadap barang-barang elektronik. 

  • Tingkat Pengangguran

Tingkat Pengangguran di Tiongkok menurun menjadi 5 persen pada bulan Mei dari 5,10 persen pada bulan April 2025.

  • Suku Bunga

Suku bunga pinjaman utama (LPR) satu tahun, patokan untuk sebagian besar pinjaman perusahaan dan rumah tangga, dipertahankan stabil pada 3,0%, sementara LPR lima tahun, yang memandu suku bunga hipotek, tetap tidak berubah pada 3,5%.

  • PMI Manufaktur 

PMI Manufaktur NBS resmi Tiongkok naik ke 49,7 pada Juni 2025 dari 49,5 pada Mei, sesuai dengan ekspektasi sekaligus menandai bulan ketiga berturut-turut kontraksi dalam aktivitas pabrik. Itu adalah kontraksi terlemah dalam urutan tersebut, dengan output naik paling tinggi dalam tiga bulan.

  • PMI Non-Manufaktur 

PMI Non-Manufaktur NBS resmi Tiongkok berada di angka 50,5 pada bulan Juni 2025, di atas konsensus pasar dan angka bulan Mei sebesar 50,3. Itu adalah pembacaan tertinggi sejak Maret, didukung oleh gencatan senjata perdagangan dengan AS dan upaya berkelanjutan Beijing untuk meningkatkan permintaan domestik dan mengekang tekanan deflasi. 

Image source: AP/ beritariau.com

Indonesia

  • Suku Bunga

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di angka 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 17–18 Juni 2025. Selain itu, BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility di level 4,75% dan lending facility di 6,25%.

  • Jumlah Uang Beredar M2 

Jumlah Uang Beredar M2 di Indonesia meningkat sebesar 4,9% secara tahunan menjadi Rp9.406,60 triliun pada bulan Mei 2025, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 5,2%.

  • PMI Manufaktur

PMI Manufaktur Indonesia S&P Global turun menjadi 46,9 pada Juni 2025 dari 47,4 pada bulan sebelumnya, menandai kontraksi bulan ketiga berturut-turut dalam aktivitas pabrik. 

  • Neraca Perdagangan, Ekspor dan Impor 

Surplus perdagangan Indonesia melebar tajam menjadi USD 4,30 miliar pada Mei 2025, naik dari USD 2,92 miliar pada bulan yang sama tahun sebelumnya, dan jauh di atas ekspektasi pasar surplus USD 2,40 miliar. Ekspor naik 9,68% yoy ke level tertinggi sebesar USD 24,61 miliar, didorong oleh pabrik-pabrik yang bergegas mengirim barang selama jeda 90 hari pada tarif baru AS yang diumumkan oleh pemerintahan Trump, dengan pengiriman ke AS melonjak 24,76%. Sementara itu, impor tumbuh 4,14% yoy menjadi USD 20,31 miliar. Meskipun masih positif, itu menandai laju terlemah sejak Februari, menyusul lonjakan 21,84% pada bulan April, di tengah meredanya ketegangan perdagangan global. 

  • Inflasi

Inflasi tahunan Indonesia meningkat menjadi 1,87% pada bulan Juni 2025, naik dari 1,60% pada bulan Mei dan sedikit di atas perkiraan pasar sebesar 1,83%, tetap dalam kisaran target bank sentral sebesar 1,5% hingga 3,5%. Secara bulanan, CPI meningkat sebesar 0,19%, bangkit kembali dari penurunan sebesar 0,37% pada bulan Mei dan sedikit di atas kenaikan sebesar 0,15% yang tercatat pada bulan sebelumnya.

  • Jumlah Kedatangan Wisatawan

Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia tumbuh 14,01% secara tahunan menjadi 13,06 juta wisman pada Mei 2025, menyusul kenaikan 9,15% pada bulan sebelumnya. Sebagian besar kedatangan wisatawan mancanegara berasal dari Timur Tengah (35,39%), khususnya Uni Emirat Arab (53,17%), Yaman (38,05%), dan Arab Saudi (35,68%). 

Image source: AP/ thejakartapost.com

Jeda Tarif AS Berakhir 9 Juli, Obligasi Bakal Kembali Meroket?

Pada awal April lalu, pasar global dikejutkan oleh kebijakan tarif impor yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Trump menetapkan tarif universal sebesar 10% untuk seluruh barang asing yang masuk ke AS, ditambah aturan tarif resiprokal terhadap puluhan negara dengan persenan yang bervariasi.

Indonesia masuk dalam daftar negara yang terdampak aturan tarif timbal balik tersebut, menempati posisi ke-6 di kawasan ASEAN dengan tarif sebesar 32%. Kamboja tercatat paling tinggi dengan tarif mencapai 49%, disusul Laos (48%), Vietnam (46%), dan Myanmar (44%).

Meskipun pengumuman tarif ini sempat memicu kekhawatiran, Trump kemudian mengumumkan penundaan selama 90 hari bagi sebagian besar negara, kecuali China yang langsung dikenakan tarif ekstrem hingga 145%. Penundaan tarif ini pun akan berakhir pada 9 Juli 2025, menjadikannya deadline yang sangat krusial bagi negara-negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.

Menjelang tenggat waktu itu, berbagai negara berlomba untuk menyelesaikan kesepakatan perdagangan bilateral guna menghindari tarif tambahan. Namun hingga saat ini, hanya dua negara yang secara resmi berhasil mencapai kesepakatan dagang dengan AS, sementara mayoritas lainnya masih bernegosiasi dalam ketidakpastian.

1. China

Meski sempat menjadi target utama dengan tarif hingga 145%, negosiasi intensif akhirnya membuahkan hasil. Dalam pertemuan tingkat tinggi di Jenewa dan London, AS dan China menyepakati kerangka kerja perdagangan baru. AS sepakat mempercepat ekspor komoditas strategis seperti rare earth dari China, sementara Beijing menurunkan beberapa hambatan impor untuk produk-produk Amerika. Kesepakatan ini menandai meredanya ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia, meski detail implementasinya masih dalam proses finalisasi.

2. Inggris

Pada awal Mei, Washington dan London mengumumkan “Economic Prosperity Deal” yang mencakup pengurangan tarif untuk berbagai sektor strategis. Inggris berhasil menegosiasikan penurunan tarif suku cadang pesawat dan logam, serta tarif mobil dari 25% menjadi 10%. Sebagai timbal balik, Inggris membuka akses pasar lebih besar bagi produk pertanian AS, seperti ethanol dan daging sapi. Kesepakatan ini disambut positif oleh pelaku pasar karena menunjukkan bahwa Trump tetap membuka ruang dialog, setidaknya bagi negara-negara dengan hubungan dagang dan politik yang erat.

Status Negosiasi Tarif Indonesia 

Sementara itu, Indonesia masih belum mencapai kesepakatan final dengan pemerintah AS hingga akhir Juni ini. Meski pemerintah telah melakukan pendekatan diplomatik dan mengirimkan delegasi ke AS, status Indonesia masih berada dalam masa penundaan tarif selama 90 hari, yang akan berakhir pada 9 Juli 2025. Adapun poin negosiasi Indonesia ke AS (per Juni 2025)

1.Second-Best Offer
Indonesia menyampaikan paket kompromi komprehensif yang mencakup pengurangan hambatan tarif dan non-tarif, serta komitmen komersial sebagai respons diplomatik aktif.

2.Reformasi Regulasi Impor
Pelonggaran lisensi dan regulasi untuk 10 kelompok komoditas utama, termasuk plastik dan bahan kimia, agar produk AS lebih mudah memasuki pasar RI.

3.Peningkatan Impor Produk AS
Komitmen untuk membeli produk AS senilai US$ 18–19,5 miliar, mencakup gandum, kedelai, energi (seperti LNG), dan komponen industri.

4.Penurunan Persyaratan Local Content
Menurunkan kuota minimal kandungan lokal dalam proyek infrastruktur/energi guna memberi keleluasaan bagi produk dan jasa AS.

5.Investasi di Mineral Kritis & Peralatan Militer
Tawaran membuka investasi oleh perusahaan AS melalui sovereign wealth fund Danantara di sektor nikel, tembaga, baterai EV, hingga proyek peralatan militer dan sektor mineral kritis.

6.Pembukaan Akses Pasar untuk Produk AS
Menjamin akses yang lebih luas bagi produk pertanian, teknologi, dan manufaktur AS di pasar Indonesia.

Jika tidak ada perjanjian yang dicapai sebelum tenggat waktu tersebut, maka tarif sebesar 32% akan otomatis diberlakukan terhadap berbagai produk ekspor Indonesia.

Skenario 1: Negosiasi Berhasil (Tarif Dibatalkan atau Ditunda)

  • Tarif 32% tidak jadi berlaku untuk ekspor Indonesia.
  • Sentimen pasar membaik, risiko global menurun.
  • Rupiah menguat, menarik minat investor asing.
  • Yield obligasi turun, harga naik.
  • Aliran dana asing (inflow) kembali ke pasar SBN.

Skenario 2: Negosiasi Gagal (Tarif 32% Berlaku Mulai 9 Juli)

  • Tarif 32% resmi diberlakukan untuk ekspor Indonesia.
  • Sentimen pasar negatif, risiko perdagangan meningkat.
  • Rupiah tertekan, potensi pelemahan nilai tukar.
  • Yield naik, harga obligasi turun.
  • Investor asing keluar dari SBN (outflow).

Tenggat negosiasi tarif antara Indonesia dan AS pada 9 Juli 2025 menjadi momen krusial bagi arah pasar obligasi Indonesia. Jika negosiasi berhasil, hal ini bisa menjadi katalis positif yang mendorong penguatan Rupiah, masuknya dana asing, dan penurunan yield obligasi, terutama di tenor menengah hingga panjang. Sebaliknya, jika gagal dan tarif 32% diberlakukan, pasar obligasi berpotensi mengalami tekanan jangka pendek akibat pelemahan Rupiah, meningkatnya risiko global, dan aksi jual investor asing.

Peluang Akumulasi

Namun, koreksi yang mungkin terjadi dalam skenario negatif bisa menjadi peluang beli, terutama obligasi tenor panjang, seiring dengan sinyal kuat bahwa Bank Sentral AS, The Fed, berpeluang memangkas suku bunga lebih awal pada Juli, bahkan membuka ruang hingga tiga kali pemangkasan dalam tahun ini. 

Turunnya inflasi AS secara konsisten dan melambatnya pertumbuhan lapangan kerja telah mengurangi tekanan bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama. Tak hanya itu, konflik Iran–Israel yang telah mencapai gencatan senjata juga meredakan  risiko geopolitik global. 

Faktor penting lainnya juga datang dari politik AS sendiri. Trump diperkirakan akan mengumumkan kandidat pengganti Ketua The Fed Jerome Powell pada September atau Oktober mendatang. Besar kemungkinan kandidat yang ditunjuk adalah sosok yang lebih sejalan dengan kebijakan Trump yang menginginkan suku bunga rendah. 

Bila hal ini terjadi, pasar akan membaca kebijakan moneter AS ke depan cenderung lebih dovish, dengan penurunan suku bunga AS lebih cepat dan lebih agresif. Ini akan menurunkan daya tarik obligasi AS, dan membuat investor global berburu yield lebih tinggi di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Dampaknya, permintaan terhadap obligasi Indonesia naik, yield turun, dan harga naik.  

Rekomendasi

Pasar obligasi Indonesia saat ini berada dalam momentum positif yang kuat, ditopang oleh tiga sentimen global utama: peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed mulai Juli dan hingga tiga kali tahun ini, meredanya ketegangan geopolitik seperti konflik Iran–Israel dan membaiknya hubungan dagang AS–China, serta rencana Trump menunjuk pengganti Ketua The Fed yang diyakini akan lebih dovish dan pro-suku bunga rendah. Kombinasi ini memperkuat prospek arus dana asing masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, mendorong penguatan Rupiah, penurunan yield, dan kenaikan harga obligasi, khususnya pada tenor menengah hingga panjang.

Adapun satu-satunya risiko eksternal yang masih perlu dicermati adalah kemungkinan diberlakukannya tarif 32% oleh AS terhadap ekspor Indonesia mulai 9 Juli. Jika negosiasi berhasil dan tarif dibatalkan atau ditunda kembali, pasar akan mendapat katalis tambahan yang memperkuat tren positif. Namun, jika tarif tetap diberlakukan, pasar mungkin mengalami koreksi jangka pendek. Meski begitu, koreksi ini justru dapat dimanfaatkan sebagai momen akunulasi, mengingat dukungan fundamental dari arah kebijakan global tetap kuat.

Rekomendasi:

  • Obligasi IDR 

Tenor Pendek (3-5 tahun) FR40, FR84, FR59, FR95, FR101, FR104, FR82, PBS03, PBS21

Tenor Menengah (5-10 Tahun) FR87, FR91, FR96 , FR65, FR100, FR103, PBS29

Tenor Panjang (>10 Tahun) FR98, FR106, FR92, FR97, FR107, FR76, FR89, FR102, FR105, PBS37, PBS39, PBS05, PBS33, PBS38 

  • Obligasi USD

Tenor Pendek (3-5 tahun) Indon26, Indon29 New 

Tenor Menengah (5-10 Tahun) Indon30 New, Indon35

Tenor Panjang (>10 Tahun) Indon53, Indon52, Indon44, Indon46, Indon49

 

Disclaimer:

Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.

By Aurel Fawz Finansial Indonesia

You Might Also Like

Trump Desak The Fed Pangkas Suku Bunga 1%, Obligasi Bakal Meroket?

Newsletter – 1 Juni 2025

BI Pangkas Suku Bunga, Obligasi Indonesia Makin Menarik?

Newsletter – 15 Mei 2025

AS-China Sepakat Turunkan Tarif, CPI Turun, Obligasi Akan Kembali Membara?

TAGGED: negosiasi tarif Trump, obligasi indonesia, pasar obligasi Indonesia, tarif trump, tenggat tarif Trump
Aurelia Tanu July 1, 2025 July 1, 2025
Previous Article SMDR Bakal Bagi Dividen Sebesar Rp 180,2 Miliar
Next Article IPO Serentak: CDIA, BLOG, ASPR, CHEK, COIN, PMUI. Beli yang Mana?
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

IkutinIkutin
Komplek CitraLand Gama City, Madison Avenue, Blok R6 No. 90, Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia
adbanner
AdBlocker Terdeteksi
Kami dengan hormat meminta Anda mempertimbangkan untuk memasukkan situs web kami ke dalam daftar putih AdBlocker, karena situs tersebut beroperasi dengan dukungan iklan. Keputusan Anda untuk memasukkan situs kami ke dalam daftar putih akan memberikan kontribusi besar dalam mempertahankan operasinya.
Okay, I'll Whitelist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?