PT Fawz Finansial Indonesia
NEWSLETTER
1 Mei 2023
17 April 2023 | 28 April 2023 | Perbedaan | % | |
---|---|---|---|---|
IHSG | 6.820 | 6.945 | 125 | 1.8% |
LQ45 | 943 | 965 | 22 | 2.3% |
EIDO | 24.1 | 24.7 | 0.6 | 2.5% |
Japan Nikkei 225 | 28.493 | 28.458 | -35 | -0.1% |
Shanghai CI | 3.390 | 3.286 | -104 | -3.1% |
Dow Jones | 33.886 | 33.826 | -60 | -0.2% |
Nasdaq | 12.166 | 12.142 | -24 | -0.2% |
Emas | 1.994 | 1.996 | 2 | 0.1% |
Joe Biden Resmi Calonkan Diri Di Pilpres 2024, Siap Tandingi Trump Lagi?
Pada hari Selasa (25/4/2023), Presiden Joe Biden resmi mengumumkan dirinya akan kembali ikut Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024. Biden mengatakan bahwa dia masih membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya sejak ia terpilih dalam pemilihan Presiden AS 2020 lalu.
Pencalonan kembali Biden ini juga menandai kembalinya Wakil Presiden Kamala Harris sebagai pasangan calon Biden untuk pilpres AS 2024 mendatang. Tak hanya itu, pencalonan kembali Biden juga memungkinkan kembali terjadinya pesaingan sengit antara Biden dan Donald Trump yang sempat terjadi pada pemilihan presiden 2020 lalu.
Meski kini terlibat sejumlah kasus, termasuk suap kepada aktris porno Stormy Daniel dan kerusuhan di Gedung Capitol, Trump menegaskan akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada 2024. Trump juga disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat dari partai Republik untuk pemilihan presiden 2024.
Sebagai informasi, Joe Biden merupakan presiden tertua sepanjang sejarah Amerika. Jika dia terpilih dalam pemilihan presiden mendatang, dia akan menyelesaikan masa jabatan keduanya pada usia 86 tahun.
Namun, survei dari Reuters yang dibuat dari 21 Januari 2021 hingga 16 April 2023, dengan terus mengalami pembaruan setiap bulannya, menunjukkan bahwa hanya 39% warga Amerika yang mendukung Biden. Sementara itu, sekitar 45% perwakilan Partai Demokrat menilai bahwa Biden tidak boleh mencalonkan diri lagi pada pilpres 2024, sementara 48% sisanya mendukung sang presiden maju kembali.
Bagi Warga Asing Yang Ingin Beli Properti Di Singapura, Siap Bayar Pajak 60%?
Singapura memutuskan untuk menaikkan pajak pembelian properti dari yang sebelumnya sebesar 30% menjadi 60% kepada pembeli asing mulai dari hari Kamis (27/4/2023). Kenaikan tarif pajak yang besar bertepatan dengan berita mengenai konglomerat asal Indonesia yang dilaporkan telah membayar S$206,7 juta atau setara dengan Rp 2,3 triliun untuk tiga rumah mewah di Singapura.
Keputusan pemerintah Singapura untuk menaikkan pajak properti pun dimaksudkan untuk mendinginkan pasar perumahan yang berkembang pesat. Pilihan tersebut dibuat sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang meningkat bahwa lonjakan investasi asing merusak daya saing Singapura sebagai pusat keuangan dan mengorbankan keterjangkauan penduduk setempat.
Berdasarkan penyataan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pembangunan Nasional dan Otoritas Moneter Singapura, bea materai tambahan pembelian properti tersebut tidak hanya berlaku untuk pembeli asing. Kenaikan pajak untuk pembelian rumah kedua dan selanjutnya juga berlaku untuk penduduk setempat.
Adapun, bea materai tambahan pembelian rumah kedua warga negara Singapura dinaikkan dari 17% menjadi 20%. Sementara tarif pajak untuk pembelian rumah ketiga dan selanjutnya dinaikkan dari 25% menjadi 30%, lalu tarif untuk properti hunian yang dilakukan oleh entitas atau perwalian juga naik dari 35% menjadi 65%.
Menurut analis Citigroup Brandon Lee, keputusan untuk menaikkan pajak properti secara drastis untuk pembeli asing memang cukup kejam. Namun, dia memperkirakan tindakan tersebut akan berdampak negatif pada saham perusahaan properti dan real estat.
Krisis Perbankan AS Belum Usai! First Republic Bank Diambang Kebangkrutan?
Dampak dari keruntuhan sejumlah bank ternama di Amerika Serikat (AS) yang terjadi pada bulan Maret lalu tampaknya belum usai, dimana efeknya kini berdampak pada First Republic Bank. Pada hari Selasa (25/4/2023), saham bank tersebut jatuh hampir 50%. Sebelumnya, beberapa bank besar lainnya sudah mencoba membantu First Republic dengan memberikan pinjaman senilai US$ 30 miliar. Tak hanya itu, First Republic juga telah meminjam tambahan US$ 92 miliar dari Federal Reserve (The Fed) dan sejumlah kreditur lainnya.
Namun, investor AS dibuat ketar-ketir dengan data jumlah penarikan uang tunai di First Republic sepanjang kuartal I-2023 menembus US$ 102 miliar dari total dana pihak ketiga yang berjumlah US$ 176 miliar, dimana hal ini menandakan bahwa First Republic telah kehilangan lebih dari 50% dana pihak ketiganya hanya dalam satu kuartal.
Meskipun begitu, First Republic Bank menjelaskan bahwa situasinya saat ini telah stabil. Pihaknya sudah mulai mengambil langkah strategis untuk memperkuat posisinya, termasuk dengan memangkas biaya operasional mulai dari 20%-25% dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerjanya.
Kondisi yang menimpa First Republic Bank ini tentunya membuat The Fed kebingungan. Di saat The Fed masih bersikeras untuk menaikkan suku bunga acuannya, mereka juga harus dihadapkan dengan pilihan kondisi bank yang terancam bangkrut. Adapun konsekuensi terbesar dari runtuhnya sistem keuangan AS karena kegagalan bank adalah kehancuran pasar saham global yang serupa dengan krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008 silam.
Sementara itu, kondisi perbankan di Indonesia sejauh ini masih dalam kondisi yang baik-baik saja. Hal ini terlihat dari laporan kinerja keuangan bank, terutama bank-bank besar pada kuartal I-2023 yang hasilnya cukup baik. Sejauh ini, baru PT Bank Panin Tbk. (PNBN) yang mengalami penurunan kinerja akibat tren penurunan pertumbuhan pendapatan bunga bersih.
Simak Ulasan Saham Minggu Ini
- PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR)
PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) merupakan perusahaan yang utamanya bergerak dalam bidang usaha pengelolaan, pemeliharaan dan pengembangan jalan tol. Segmennya meliputi bisnis jalan tol, pengoperasian, pemeliharaan, bisnis terkait dan lainnya. Layanan jalan tolnya juga meliputi layanan transaksi, lalu lintas, dan konstruksi jalan.
Berdasarkan segmennya, segmen tol berkontribusi sebesar Rp 12.4 triliun atau sekitar 75% dari total pendapatan JSMR di tahun 2022. Sementara itu, segmen usaha lainnya berkontribusi sebesar Rp 1.3 triliun atau sekitar 8% dari total pendapatan JSMR, serta segmen konstruksi berkontribusi sebesar Rp 2,8 triliun atau sekitar 16% dari total pendapatan JSMR di tahun 2022. Nah, berdasarkan pembagian pendapatan berdasarkan segmen ini, dapat terlihat bahwa pendapatan JSMR sebagian besarnya ditopang oleh pendapatan dari segmen tol. Lalu, apakah momentum mudik lebaran tahun 2023 ini membawa berkah untuk JSMR?
Sebagai informasi, Hari Raya Idul Fitri 1444 H atau Lebaran tahun 2023 ini jatuh pada tanggal 22 April 2023. Presiden Jokowi juga menetapkan cuti bersama lebaran yang berlangsung dari tanggal 19 April 2023 hingga 25 April 2023. Nah, liburan lebaran tentunya sangat identik dengan yang namanya mudik. Umumnya, permintaan masyarakat untuk menggunakan jalan tol pada saat mudik akan meningkat secara signifikan.
Bahkan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa mudik Lebaran tahun 2023 merupakan yang tertinggi dalam sejarahnya. Pasalnya, pemerintah memproyeksikan adanya 123 juta pemudik dan kurang lebih 203 ribu kendaraan perharinya yang akan melintasi jalan tol. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah pemudik di momen libur Lebaran pada tahun 2022 yang hanya mencapai 85 juta orang. Nah, mengingat sumber pendapatan utama JSMR berasal dari segmen jalan tol, bukankah momen mudik ini menjadi suatu berkah untuk JSMR?
Seperti yang kita ketahui, JSMR adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus operator jalan tol terbesar di Indonesia. Hingga saat ini, JSMR tercatat telah mengoperasikan 28 ruas jalan tol di Indonesia, dari Sumatera, Bali, Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan. Jumlah tersebut belum termasuk 7 ruas tol lainnya yang sedang dalam tahap pembangunan maupun yang baru beroperasi sebagian. Nah, data itu tentunya memperkuat asumsi bahwa saat periode arus mudik, JSMR berpotensi untuk meraup pendapatan yang lebih banyak. Namun, apakah asumsi tersebut sesuai dengan fakta yang ada dilapangan? Mari kita telusuri pendapatan JSMR selama periode mudik di tahun-tahun sebelumnya.
Dari 2017 hingga 2022, perayaan Ramadhan dan Idul Fitri jatuh pada akhir kuartal kedua. Pada tahun 2017, JSMR sempat mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan di kuartal keduanya. Pendapatannya pada kuartal II-2017 sempat naik sebesar 62% dari Rp 4.9 triliun pada kuartal I-2023, menjadi Rp 8.1 triliun. Meskipun begitu, pendapatan kuartal kedua di tahun-tahun berikutnya justru mengalami penurunan. Adapun salah satu penyebabnya adalah mulai merebaknya pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat lebih banyak berdiam diri di rumah dan menghindari mudik.
Nah, kinerja kuartal kedua JSMR baru mengalami pertumbuhan pada tahun 2022 lalu, dimana pendapatan JSMR naik 5% menjadi Rp3,87 triliun. Adapun, kenaikan pendapatan JSMR pada kuartal II-2022 ini sebagian besarnya didorong oleh pelonggaran kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pandemi Covid-19. Namun, peningkatan pada kuartal kedua tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada kuartal ketiga dan keempat tahun 2022.
Berdasarkan data historisnya, JSMR justru lebih sering mencatatkan peningkatan pendapatan pada kuartal keempat, ketimbang kuartal-kuartal lainnya. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan pendapatan JSMR dalam 5 tahun terakhir, dimana pendapatan JSMR justru meningkat tajam di kuartal keempat. Adapun, kenaikan pendapatan JSMR setiap kuartal keempat ini sebagian besar didorong oleh banyaknya hari libur di periode tersebut, seperti libur hari natal dan juga tahun baru (nataru).
Nah, melihat pendapatan JSMR yang justru mengalami peningkatan drastis di kuartal IV dan bukannya di kuartal II, yang merupakan momentum mudik lebaran, maka dapat dikatakan bahwa momentum mudik lebaran sebenarnya masih kalah dengan momentum natal dan tahun baru. Lalu, apakah saham JSMR ini layak untuk dikoleksi?
Laporan Keuangan
2022 | 2021 | 2020 | |
Laba Bersih | 2,746,884,000,000 | 1,615,281,000,000 | 501,047,000,000 |
Pendapatan | 16,582,849,000,000 | 15,169,552,000,000 | 13,704,021,000,000 |
Total Asset | 91,139,182,000,000 | 101,242,884,000,000 | 104,086,646,000,000 |
Total Liabilitas | 65,517,793,000,000 | 75,742,569,000,000 | 79,311,031,000,000 |
Total Ekuitas | 25,621,389,000,000 | 25,500,315,000,000 | 24,775,615,000,000 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, JSMR berhasil membukukan kenaikan laba bersih dari Rp 1.6 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 2.7 triliun pada tahun 2022. Pendapatan JSMR juga meningkat dari Rp 15.1 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 16.5 triliun di tahun 2022. Di sisi lain, perusahaan membukukan penurunan aset dari Rp 101.2 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 91.1 triliun pada tahun 2022. Sementara itu, ekuitas perusahaan mengalami peningkatan kecil dari Rp 25.5 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 25.6 triliun pada tahun 2022. Adapun liabilitas perusahaan berkurang dari Rp 75.7 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 65.5 triliun pada tahun 2022.
Meskipun perusahaan membukukan penurunan liabilitas pada tahun 2022, faktanya jumlah ekuitas perusahaan masih jauh lebih kecil daripada jumlah liabilitasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keuangan perusahaan mungkin tidak begitu sehat, dimana sebagian besar aset perusahaan berasal dari pinjaman. Hal ini juga terlihat dari rasio debt-to-equity JSMR yang sebesar 235,1%, menandakan bahwa perusahaan memiliki utang dalam jumlah yang sangat besar. Nilai debt-to-equity rasio yang berada di atas 200% juga menandakan bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang beresiko tinggi. Nah, dengan kondisi utang perusahaan yang tergolong sangat tinggi, apakah saham JSMR masih layak untuk dikoleksi?
Mengingat pandemi Covid-19 yang sudah mereda, jumlah pengguna jalan tol diproyeksikan akan meningkat kembali, dimana hal ini juga tercermin dari mudik lebaran tahun 2023 yang menjadi arus mudik tertinggi dalam sejarah. Hal ini pun diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan JSMR kedepannya. Selain itu, sama halnya dengan beberapa BUMN lainnya, seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan juga PT Pertamina, JSMR ini sebenarnya bermain di industri yang cukup vital dan strategis, dimana kebutuhan masyarakat akan jalan tol tidak perlu diragukan lagi. Seperti yang kita ketahui, jalan tol sangat membantu dalam meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas. Bahkan, apabila Pemerintah berhasil membangun jalan tol sepanjang 1000 km sekalipun, jalan tol tersebut pasti tetap akan dipenuhi oleh ratusan bahkan ribuan mobil setiap harinya.
Di sisi lain, pembangunan jalan tol tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal ini pun menjadi salah satu alasan mengapa rasio debt-to-equity JSMR begitu tinggi. Sejauh ini, JSMR memiliki setidaknya 7 jalan tol yang berada dalam tahap pembangunan. Nah, pendapatan JSMR tentunya akan meningkat nantinya, apabila pembangunan jalan tol ini rampung. Di samping itu, JSMR telihat rutin menerbitkan obligasi untuk membiayai pembangunan jalan tol. Meskipun begitu, dapat dilihat bahwa sampai saat ini, perusahaan belum pernah telat dibayar ataupun default. Hal ini mengindikasikan bahwa di samping utang perusahaan yang tergolong tinggi, perusahaan masih mampu mengelola keuangannya dengan baik. Jadi, berdasarkan pemaparan di atas, saham JSMR layak mendapatkan rekomendasi BUY.
2. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) merupakan perusahaan yang berfokus mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas terutama di Indonesia dan Asia Tenggara.
Perusahaan utamanya bergerak dalam tiga segmen bisnis utama, yaitu minyak dan gas, tenaga bersih dan pertambangan tembaga dan emas.
Berdasarkan segmennya, kontrak penjualan minyak dan gas bumi berkontribusi sebesar US$ 2.18 miliar atau sekitar 94% dari total pendapatan MEDC di tahun 2022. Sementara itu, pendapatan kontrak konstruksi berkontribusi sebesar US$ 13.57 juta atau sekitar 0,58% dari total pendapatan MEDC. Kemudian, pendapatan kontrak penjualan listrik berkontribusi sebesar US$ 34.57 juta atau setara dengan 1,4%, dan pendapatan kontrak operasi dan jasa pelayanan berkontribusi sebesar US$ 25.75 juta atau sekitar 1,11%, serta pendapatan jasa lainnya berkontribusi sebesar US$ 8.04 juta atau setara dengan 0,34% dari total pendapatan MEDC di tahun 2022.
Nah, berdasarkan pembagian pendapatan berdasarkan segmen ini, dapat terlihat bahwa sebagian besar pendapatan MEDC berasal dari segmen minyak dan gas. MEDC juga dikenal sebagai perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi swasta terbesar di Indonesia. Lalu, apakah segmen minyak dan gas yang menjadi penopang utama keberlangsungan usaha MEDC ini memiliki prospek yang cerah kedepannya?
Sebagai informasi, pada awal perdagangan hari Kamis (27/4/2023), harga minyak terpantau menguat tipis, dengan harga minyak mentah WTI menguat sebesar 0,12% ke level US$ 74.3 per barel, dan harga minyak mentah brent menguat sebesar 0,03% ke level US$ 77.7 per barel. Adapun sentimen yang menguatkan harga minyak ini adalah liburan musim panas di China dan Amerika Serikat yang akan segera dimulai pada bulan Juni 2023 mendatang. Sentimen liburan musim panas ini pun diperkirakan dapat meningkatkan permintaan bahan bakar.
Selain itu, keputusan OPEC untuk memangkas produksi minyak mulai Mei 2023 juga diperkirakan dapat berpengaruh pada kenaikan harga minyak. Sebagai informasi, OPEC memutuskan untuk mengurangi produksinya sebanyak 1,16 juta barel per hari (bpd) mulai bulan Mei mendatang. Keputusan tersebut membuat total volume pemotongan produksi oleh OPEC menjadi sebanyak 3,66 juta barrel per hari, atau setara dengan 3,7% dari permintaan global. Pemotongan produksi oleh OPEC dan prospek permintaan yang kuat dari China diproyeksikan dapat memberi dorongan pada harga minyak dalam beberapa waktu kedepan.
Di sisi lain, bank sentral AS, Inggris, dan Eropa diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunganya pada pertemuan berikutnya yang akan diadakan di pekan pertama bulan Mei 2023. Hal ini tentunya dapat berpengaruh pada kenaikan harga minyak dan gas. Harga minyak dunia kedepannya juga diperkirakan bakal dipengaruhi oleh kondisi di Irak, dimana Irak terlihat mulai menunjukkan tanda-tanda untuk kembali melakukan ekspor minyak dari wilayah Kurdistan Irak, setelah sempat terganggu selama sebulan terakhir.
Nah, mengingat segmen minyak dan gas merupakan kontribusi terbesar terhadap pendapatan MEDC, harga komoditas minyak dan gas dunia yang berfluktuatif tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan MEDC kedepannya. Lalu, bagaimana dengan kondisi fundamental perusahaan? Apakah saham MEDC ini layak untuk dikoleksi?
Laporan Keuangan
2022 (USD) | 2021 (USD) | 2020 (USD) | |
Laba Bersih | 530,882,675 | 47,019,404 | (188,975,634) |
Pendapatan | 2,312,227,602 | 1,252,106,573 | 1,093,274,485 |
Total Asset | 6,931,905,826 | 5,683,884,169 | 5,900,822,955 |
Total Liabilitas | 5,184,386,501 | 4,454,547,678 | 4,687,437,992 |
Total Ekuitas | 1,747,519,325 | 1,229,336,461 | 1,213,394,963 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, MEDC membukukan peningkatan laba bersih dari US$ 47.01 juta menjadi US$ 530.88 juta pada tahun 2022. Nah, peningkatan yang luar biasa bukan? Hampir 10 kali lipatnya. Sementara itu, perusahaan juga membukukan kenaikan pendapatan dari US$ 1.2 miliar menjadi US$ 2.3 miliar pada tahun 2022. Sejalan dengan itu, aset perusahaan juga meningkat dari US$ 5.6 miliar menjadi US$ 6.9 miliar dan ekuitas perusahaan juga mengalami peningkatan dari US$ 1.2 miliar menjadi US$ 1.7 miliar di tahun 2022. Di sisi lain, liabilitas perusahaan juga ikut mengalami peningkatan, dari US$ 4.4 miliar pada tahun 2021 menjadi US$ 5.1 miliar pada tahun 2022.
Nah, liabilitas yang meningkat dan jumlahnya melebihi ekuitas mengindikasikan bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang tidak begitu solid, dan kemungkinan sebagian besar aset perusahaan dibiayai dari pinjaman. Hal ini juga terlihat dari rasio debt-to-equity MEDC yang sebesar 214,3%, menandakan bahwa utang perusahaan memang tergolong sangat besar. Nah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nilai debt-to-equity rasio yang berada di atas 200% menandakan bahwa kondisi perusahaan sudah beresiko tinggi, dan sangat rawan dengan berbagai macam resiko. Jadi, dengan kondisi utang perusahaan yang tergolong sangat tinggi, apakah saham MEDC masih layak untuk dikoleksi?
Di samping harga minyak dan gas yang cenderung berfluktuatif, kinerja MEDC berpotensi untuk tetap terjaga, meningat perusahaan memiliki sejumlah diversifikasi, baik segmen listrik maupun tambang mineral. Bahkan kontribusi dari segmen tambang tembaga dan emas MEDC diperkirakan akan jauh lebih baik di tahun 2023 ini. Hal itu menyusul rencana PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang berencana untuk initial public offering (IPO).
Sebagai informasi, Amman Mineral merupakan pengembang dari proyek strategis nasional yaitu smelter pemurnian konsentrat tembaga yang berlokasi di Sumbawa Barat. Proyek tersebut ditargetkan rampung pada tahun 2024 dan diperkirakan dapat memproduksi 222.000 ton katoda tembaga. Rencana IPO Amman Mineral ini tentunya akan berdampak positif bagi MEDC, yang merupakan salah satu pemegang sahamnya. MEDC pada bulan September 2022 lalu juga sempat memberi tanda bahwa AMNT akan segera melantai di bursa, namun penjelasan mengenai kapan AMNT akan IPO masih belum diumumkan hingga sekarang.
Baru-baru ini, MEDC juga berencana untuk menggelar aksi pembelian kembali atau buyback saham. Dalam aksi buyback ini, MEDC menyiapkan dana maksimal senilai Rp 120 miliar. Estimasi saham yang akan kembali dibeli MEDC mencapai 100 juta lembar atau 0,398% dari modal ditempatkan dan disetor. Adapun untuk aksi buyback saham, MEDC akan meminta persetujuan dalam RUPST yang akan digelar pada 31 Mei 2023 mendatang. Sementara itu, pembelian kembali saham nantinya akan berlangsung paling lama 18 bulan sejak 31 Mei 2023 sampai dengan 30 November 2025.
Nah, mengingat estimasi saham yang akan dibeli kembali MEDC hanya sebesar 0,39% dari total modal yang ditempatkan dan disetor, jumlah ini pun dapat terbilang cukup kecil. Dengan begitu, aksi buyback ini diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan earning per share (EPS). Meski begitu, aksi korporasi ini diproyeksikan masih akan membawa sentimen positif bagi saham MEDC, dimana aksi buyback ini akan membantu menjaga harga saham yang telah mengalami penurunan dari awal tahun dan juga dapat meningkatkan kepercayaan investor. Jadi, berdasarkan pemaparan di atas, saham MEDC masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
3. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pemurnian dan pemasaran bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit, batu bara dan logam mulia lainnya. Perusahaan ini beroperasi dalam tiga segmen utama, yang terdiri dari emas dan kilang, nikel dan feronikel, serta bauksit, alumina, dan logam mulia lainnya.
Berdasarkan segmennya, segmen emas berkontribusi sebesar Rp 31.6 triliun atau sekitar 68,8% dari total pendapatan ANTM di tahun 2022. Sementara itu, segmen nikel dan feronikel berkontribusi sebesar Rp 12.02 triliun atau sekitar 26,1% dari total pendapatan ANTM, serta segmen bauksit, alumina, dan logam mulia lainnya berkontribusi sebesar Rp 2.05 triliun atau sekitar 4,4% dari total pendapatan ANTM di tahun 2022.
Nah, berdasarkan pembagian pendapatan berdasarkan segmen ini, dapat terlihat bahwa pendapatan ANTM sebagian besarnya ditopang oleh pendapatan dari segmen emas. Pada tahun 2022, volume penjualan emas ANTM juga meningkat sebesar 19% dari 29,39 ton menjadi 34,97 ton. Peningkatan ini pun menjadi yang salah satu penyebab utama penjualan ANTM pada tahun 2022 menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah perusahaan. Lantas, bagaimana prospek emas kedepannya? Apakah emas masih akan menjadi penjualan terbesar ANTM di tahun 2023 ini?
Sebagai informasi, setelah libur lebaran, harga emas ANTM pada hari Rabu (26/4/2023) melonjak pada perdagangan perdana. Harga saham ANTM naik sebesar Rp 8.000 atau 0,8% menjadi Rp 1.062.000 per gram. Sementara untuk harga jual kembali (buyback) sebesar Rp 956 ribu per gram. Tak hanya itu, harga emas dunia acuan XAU/USD juga naik 1,56% ke level US$ 1.998 per ounce pada pembukaan perdagangan hari Rabu (26/4/2023).
Peningkatan harga emas ini didorong oleh data inflasi AS yang dilaporkan lebih rendah dari perkiraan. Inflasi AS pada bulan Maret 2023 berhasil turun ke 5% (yoy), jauh lebih rendah dari proyeksi pasar sebesar 5,2% (yoy). Inflasi inti juga berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 5,6% (yoy). Namun, sekalipun data inflasi bulan Maret menunjukkan adanya perbaikan, inflasi masih dinilai terlalu tinggi di mata The Fed. Jadi, pasar memproyeksikan bahwa The Fed masih akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin pada pertemuan kebijakan 2-3 Mei mendatang.
Di sisi lain, melandainya inflasi ini juga memberikan sinyal bahwa The Fed akan segera menghentikan kenaikan suku bunganya dalam waktu dekat. Ekonom Goldman Sachs juga memperkirakan bahwa The Fed berpeluang untuk tidak akan menaikkan suku bunga pada bulan Juni 2023 dan berpotensi untuk menurunkan suku bunga pada bulan Juli 2023 mendatang.
Nah, proyeksi The Fed yang bakal segera menghentikan kenaikkan suku bunganya dalam waktu dekat tentunya membuat emas menjadi lebih menarik lagi bagi para investor. Hal ini mengingat dolar akan menjadi kurang menarik apabila The Fed menurunkan suku bunganya, dan orang-orang cenderung akan menginvestasikan uang mereka pada aset yang relatif aman (safe haven) seperti emas, sehingga emas pun diproyeksikan masih akan menjadi penjualan terbesar ANTM di tahun 2023 ini. Nah, melihat prospek emas yang cukup cerah, bagaimana dengan segmen ANTM lainnya? Apakah segmen nikel dan feronikel juga akan secerah emas?
Seperti yang kita ketahui, nikel telah menjadi komoditas yang paling banyak dibutuhkan, mengingat nikel merupakan salah satu bahan baku utama dalam pembuatan kendaraan listrik, khususnya komponen baterai. Berbagai upaya dan subsidi yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia juga tentunya akan meningkatkan permintaan nikel. Nah, prospek nikel di Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?
Mengingat segmen nikel dan feronikel yang berkontribusi sebesar Rp 12.02 triliun atau sekitar 26,1% dari total pendapatan ANTM, dan merupakan kontribusi terbesar kedua pada pendapatan ANTM, prospek yang cerah dari nikel diharapkan dapat meningkatkan pendapatan ANTM. Penjualan segmen feronikel ANTM di tahun 2023 juga diproyeksikan akan meningkat sebesar 11,5%, mengingat smelter feronikel Halmahera Timur (Haltim) milik ANTM direncanakan akan segera beroperasi pada kuartal II-2023 ini. Nah, prospek emas dan nikel sendiri sudah cukup cerah, lalu bagaimana dengan bauksit?
Sebagai informasi, pemerintah bakal melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023 mendatang. Mengingat Indonesia merupakan produsen bauksit terbesar keenam di dunia, larangan ekspor mineral tersebut dapat menyebabkan kenaikan harga bauksit di pasar internasional. Meskipun begitu, kenaikan harga bauksit diproyeksikan berada dalam rentang yang moderat. Hal ini dikarenakan kekosongan suplai bauksit dari Indonesia masih bisa ditutupi oleh pasokan bauksit dari negara pengekspor lain seperti Australia, Guinea, dan beberapa negara lainnya.
Nah, ANTM sendiri merupakan salah satu produsen bauksit terbesar di Indonesia. Berdasarkan laporan kinerja ANTM, perseroan memproduksi 1,34 juta wet metric ton (wmt) bauksit pada 2022, dan menjual 936.000 wmt, naik 3% dari volume penjualan pada waktu yang sama tahun sebelumnya sebesar 910.000 wmt. Lantas, apakah larangan ekspor bauksit ini bisa merugikan ANTM?
Mengingat pendapatan dari bauksit hanya berkontribusi sekitar 1%, dan sumber pendapatan ANTM sebagian besarnya berasal dari emas dan nikel, larangan ekspor bauksit diproyeksikan tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja ANTM. Saat ini, ANTM juga dikabarkan tengah fokus menyuplai bauksit sebagai pasokan bahan baku di pabrik pengolahan alumina PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) yang merupakan anak usaha ANTM.
Selain itu, ANTM juga berfokus melakukan penjualan di pasar-pasar domestik, untuk memenuhi kebutuhan smelter yang membutuhkan bauksit sebagai bahan baku. Dari sini, dapat terlihat bahwa manajemen ANTM sendiri sebenarnya sudah cukup siap dalam menghadapi larangan ekspor bauksit ini. Nah, mengingat prospek emas dan nikel yang cukup cerah, serta kemampuan manajemen yang cukup baik dalam meminimalisir dampak dari larangan ekspor bauksit, apakah saham ANTM ini masih layak untuk dikoleksi?
Laporan Keuangan
2022 | 2021 | 2020 | |
Laba Bersih | 3,820,965,000,000 | 1,861,743,000,000 | 1,149,353,000,000 |
Penjualan | 45,930,356,000,000 | 38,445,595,000,000 | 27,372,461,000,000 |
Total Asset | 33,637,271,000,000 | 32,916,154,000,000 | 31,729,513,000,000 |
Total Liabilitas | 9,925,211,000,000 | 12,079,056,000,000 | 12,690,064,000,000 |
Total Ekuitas | 23,712,060,000,000 | 20,837,098,000,000 | 19,039,449,000,000 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, aset ANTM meningkat dari Rp 32.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 33.6 triliun di tahun 2022. Peningkatan ini juga diikuti oleh ekuitas perusahaan yang meningkat dari Rp 20.8 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 23.7 triliun pada tahun 2022. Perusahaan juga membukukan penurunan liabilitas dari Rp 12.07 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 9.9 triliun pada tahun 2022. Nah, jumlah ekuitas yang lebih besar daripada liabilitas mengindikasikan bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang sehat. Rasio debt-to-equity perusahaan yang rendah (14,9%) juga menandakan bahwa perusahaan berada dalam kondisi keuangan yang solid.
ANTM juga berhasil membukukan kenaikan laba bersih dari Rp 1.8 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 3.8 triliun pada tahun 2022. Penjualan ANTM juga meningkat dari Rp 38.4 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 45.9 triliun di tahun 2022. Penjualan dan laba bersih ANTM pada tahun 2022 juga merupakan yang tertinggi selama 3 tahun terakhir. Nah, meskipun manajemen ANTM hingga saat ini masih belum mengungkapkan rencana pembayaran dividen tahun 2023 ini, kenaikan laba tersebut memberikan sinyal bahwa ANTM berpotensi membagikan dividen yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. ANTM juga termasuk salah satu Badan Ssaha Milik Negara (BUMN) yang rajin melakukan pembayaran dividen saham setiap tahun. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas saham ANTM layak mendapatkan rekomendasi BUY.
Disclaimer:
Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.
By Aurel Fawz Finansial Indonesia