PT Fawz Finansial Indonesia
NEWSLETTER
15 Juli 2023
3 Juli 2023 | 14 Juli 2023 | Perbedaan | % | |
---|---|---|---|---|
IHSG | 6.662 | 6.810 | 148 | 2.2% |
LQ45 | 946 | 957 | 11 | 1.2% |
EIDO | 23.1 | 23.6 | 0.5 | 2.2% |
Japan Nikkei 225 | 33.265 | 32.419 | -846 | -2.5% |
Shanghai CI | 3.198 | 3.236 | 38 | 1.2% |
Dow Jones | 34.407 | 4.395 | -30012 | -87.2% |
Nasdaq | 13.787 | 14.139 | 352 | 2.6% |
Emas | 1.937 | 1.965 | 28 | 1.4% |
Inflasi Juni Sudah Berada di Bawah 4%, Apakah BI Bakal Pangkas Suku Bunga?
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami inflasi sebesar 0,14% pada Juni 2023 (month-to-month/mtm). Capaian tersebut pun membuat angka inflasi dari tahun ke tahun (year-on-year/yoy) menjadi 3,52%, dan sekaligus menjadi inflasi terendah sejak awal tahun 2023. Angka ini juga menandakan bahwa inflasi Indonesia sudah turun di bawah target yang ditetapkan yaitu sebesar 4%.
Meskipun begitu, Bank Indonesia (BI) kemungkinan masih belum akan memangkas suku bunganya hingga akhir tahun 2023 ini, mengingat arah kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang dinilai masih hawkish. Menurut Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz, inflasi Indonesia masih akan berada di kisaran 3,5% sampai akhir tahun, karena harga pangan berpotensi naik pada kuartal kedua akibat dari fenomena El Nino. Jadi, meskipun inflasi turun lebih cepat dari yang diperkirakan, Irman sendiri memproyeksikan bahwa BI masih belum akan memangkas suku bunga acuannya.
Menurutnya, suku bunga acuan akan dipertahankan sebesar 5,75% sampai akhir tahun, dan masih ada peluang bagi BI untuk menaikkan bunga satu kali lagi sebesar 25 bps di sisa tahun 2023 ini, jika rupiah semakin tertekan oleh kebijakan moneter yang hawkish dari The Fed. Adapun, beberapa ekonom memproyeksikan bahwa BI baru akan menurunkan suku bunganya pada awal tahun 2024 mendatang.
UU Kesehatan Disahkan DPR, Apa Dampaknya ke Saham Rumah Sakit?
Pada hari Selasa (11/7/2023), Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lantas, apa dampak pengesahan RUU kesehatan ini terhadap saham-saham yang bergerak di sektor kesehatan?
UU kesehatan ini diproyeksikan dapat menjadi peluang bagi emiten rumah sakit untuk lebih gencar melakukan ekspansi lagi. Pasalnya, hingga saat ini, bisnis rumah sakit yang besar dan menguntungkan cenderung hanya berada di kota besar. Dengan adanya UU kesehatan ini, peluang rumah sakit untuk mengekspansi bisnisnya ke luar kota besar seperti tier-2 dan tier-3 pun menjadi lebih luas.
Selain itu, masalah ketersediaan dokter spesialis juga menjadi salah satu hambatan bagi emiten rumah sakit untuk melakukan ekspansi yang lebih luas lagi. Adapun berdasarkan UU kesehatan yang baru ini, dokter spesialis lulusan luar negeri akan diberikan kelonggaran untuk mengisi kekurangan di Indonesia. Hal ini pun dinilai dapat mendorong rumah sakit untuk melakukan ekspansi dan diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya di masa depan.
Disahkannya RUU kesehatan ini pun membuat beberapa saham dari sektor kesehatan melesat. Salah satunya adalah saham PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) yang terpantau melesat 9,89% ke level Rp 2.000 per saham pada perdagangan hari Selasa (12/7/2023). Selain SILO, ada juga PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL) yang terpantau meningkat 3,94%, dan PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME) yang meningkat 2,78%.
Inflasi AS Turun Jadi 3%, The Fed Bakal Stop Naikkan Suku Bunganya?
Berdasarkan data yang dirilis pada hari Rabu (12/7/2023), inflasi Amerika Serikat (AS) tercatat menurun ke level 3% secara tahunan pada Juni 2023, dari yang sebelumnya berada di level 4%. Data inflasi AS yang melambat ini pun diharapkan dapat membuat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) untuk segera melonggarkan kebijakannya.
Sebagai informasi, The Fed sebelumnya diperkirakan masih akan menaikkan suku bunganya sebesar 50 basis poin (bps) lagi hingga akhir tahun 2023 ini. Adapun, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 bps pada pertemuan 25-26 Juli 2023 mendatang.
Melihat tingkat inflasi AS yang sudah turun bahkan ke level terendah sejak tahun 2021, Senator Partai Demokrat dari Massachusetts, Elizabeth Warren, meminta Federal Reserve untuk menghentikan kenaikan suku bunganya. Warren juga mendesak The Fed untuk menindaklanjuti persyaratan modal yang lebih tinggi untuk bank-bank besar yang diusulkan oleh Wakil Ketua The Fed Michael Barr.
Namun, sekalipun inflasi AS sudah menyentuh level terendah sejak tahun 2021, angka tersebut masih berada di atas target The Fed yang sebesar 2%. Dengan begitu, The Fed diperkirakan masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya di bulan ini, agar bisa menurunkan tingkat inflasi dan memacu perekonomian.
Simak Ulasan Saham Minggu Ini
- PT Pakuwon Jati Tbk (PWON)
PT Pakuwon Jati Tbk adalah perusahaan yang utamanya bergerak di bidang pengembangan, pemasaran, dan pengoperasian properti. Perseroan beroperasi melalui tiga segmen, yaitu segmen perkantoran, pusat perbelanjaan, dan apartemen berlayanan; segmen real estat, dan segmen perhotelan. Adapun berdasarkan pendapatannya, segmen perkantoran, pusat perbelanjaan, dan apartemen berlayanan berkontribusi sebesar Rp 840.01 miliar atau sekitar 60,6% dari total pendapatan PWON di kuartal I-2023. Kemudian segmen real estat berkontribusi sebesar Rp 300.9 miliar atau sekitar 21,7% dan segmen perhotelan berkontribusi sebesar Rp 243.5 miliar atau sekitar 17,5% dari total pendapatan PWON di kuartal I-2023.
Nah, dari sini dapat terlihat bahwa PWON ini sebenarnya cukup unik, dimana pendapatan utama pengembang real estate biasanya berasal dari penjualan unit-unit real estate seperti rumah tapak dan kondominium, namun, pendapatan utama PWON justru bersumber dari pusat perbelanjaan, perkantoran, dan apartemen berlayanan. Lantas, bagaimana prospek segmen ini kedepannya?
Sebagai informasi, Presiden Jokowi telah resmi mencabut status pandemi COVID-19 di Indonesia pada 21 Juni 2023 lalu, dan menyebutkan bahwa kini Indonesia telah memasuki masa endemi. Peralihan pandemi menjadi endemi ini pun diproyeksikan dapat meningkatkan mobilitas dan konsumsi masyarakat. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) juga memproyeksikan bahwa tingkat kunjungan pusat perbelanjaan pada tahun 2023 dapat mencapai lebih dari 100% atau kembali seperti saat sebelum pandemi. Hal ini tentunya akan membawa dampak positif bagi PWON, mengingat sumber pendapatan utamanya berasal dari pusat perbelanjaan.
Selain itu, PWON juga memiliki keunggulan sebagai market leader dan pengembang superblok terbesar di Jakarta dan Surabaya. PWON sendiri juga berencana untuk melakukan ekspansi di sejumlah wilayah, seperti Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Bali hingga Ibu Kota Negara (IKN). Adapun saat ini, PWON perusahaan telah merampungkan transaksi akuisisi lahan seluas 12,4 hektar (ha) dengan nilai Rp 372 miliar, untuk membangun superblok baru di Batam. Nah, ekspansi-ekspansi ini tentunya akan menjadi sumber cuan baru bagi PWON.
Selain pusat perbelanjaan, pendapatan PWON juga ditopang oleh segmen real estat. Segmen real estat sendiri diproyeksikan akan bangkit kembali seiring dengan melandainya suku bunga Indonesia. Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap di level 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 21-22 Juni 2023 lalu.
Meskipun begitu, BI diperkirakan masih belum akan menurunkan suku bunga acuannya pada tahun 2023 ini. Pasalnya, masih tingginya suku bunga The Fed akan membuat BI sulit untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Selain itu, The Fed juga mengisyaratkan masih akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada tahun ini. Jadi, BI diperkirakan baru akan memulai penurunannya pada awal tahun 2024 mendatang.
Namun, sekalipun BI baru akan menurunkan suku bunganya pada tahun 2024 mendatang, suku bunga BI saat ini sudah terbilang berada pada posisi terendah secara historikal. Kebijakan BI untuk menahan suku bunga ini pun diproyeksikan dapat menjadi daya tarik bagi konsumen untuk mempertimbangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Adapun berdasarkan survei BI, KPR saat ini masih menjadi pilihan pembiayaan untuk pembelian properti residensial dengan perolehan 74,8%, kemudian diikuti oleh cicilan tunai sebesar 17,9% dan tunai 7,3%. Jadi, secara garis besar, segmen real estat di tahun 2023 ini diperkirakan akan “bangkit” kembali seiring dengan tren suku bunga yang semakin stabil.
Selain pusat perbelanjaan dan real estat, pendapatan PWON juga ditopang oleh segmen perhotelan. Seperti yang kita ketahui, minat masyarakat untuk bepergian maupun berwisata terus meningkat seiring dengan melandainya pandemi Covid-19. Hal ini pun tercermin dari sektor pariwisata yang terus menunjukan tren positif dan berdasarkan data Badan Pusat Statistis (BPS), kunjungan wisatawan asing ke Indonesia meningkat sebesar 312% per Mei 2023 dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Selain itu, bisnis perhotelan juga berpotensi terdongkrak menjelang masa kampanye pemilu 2024. Sebagai informasi, akan ada 3 kampanye politik yang digelar secara berurutan pada 2024 mulai dari pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota DPR dan DPRD (pemilu legislatif), hingga pemilihan kepala daerah (pilkada). Tingkat okupansi kamar hotel serta permintaan sewa aula dan ballroom pun diperkirakan akan meningkat ketika musim kampanye politik tiba. Lantas, melihat prospek PWON yang cukup cerah kedepannya, apakah saham PWON ini layak untuk dikoleksi?
Laporan Keuangan
2023 – Q1 | 2022 – Q1 | 2021 – Q1 | |
Pendapatan | 1,384,542,058,000 | 1,307,192,252,000 | 1,116,165,169,000 |
Laba Bersih | 658,352,884,000 | 370,608,900,000 | 236,693,808,000 |
Total Asset | 31,231,139,818,000 | 29,334,092,952,000 | 26,662,454,631,000 |
Total Liabilitas | 9,857,265,463,000 | 9,746,570,295,000 | 8,809,405,994,000 |
Total Ekuitas | 21,373,874,355,000 | 19,587,522,657,000 | 17,853,048,637,000 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, PWON berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan dari Rp 1.30 triliun di tahun 2022 menjadi Rp 1.38 triliun di kuartal I-2023. Sejalan dengan itu, PWON juga sukses membukukan peningkatan laba bersih yang signifikan, dari Rp 370.6 miliar menjadi Rp 658.3 miliar di kuartal I-2023. Aset perusahaan juga meningkat dari Rp 29.3 triliun menjadi Rp 31.2 triliun dan ekuitas perusahaan juga mengalami peningkatan dari Rp 19.5 triliun menjadi Rp 21.3 triliun di kuartal I-2023. Sementara itu, liabilitas perusahaan juga mengalami sedikit peningkatan dari Rp 9.7 triliun menjadi Rp 9.8 triliun di kuartal I-2023.
Nah, meskipun liabilitas perusahaan mengalami peningkatan, jumlah ekuitas perusahaan masih jauh lebih besar dari liabilitasnya sehingga mengindikasikan bahwa perusahaan masih berada dalam kondisi yang cukup sehat. Hal ini juga terlihat dari rasio debt-to-equity (DER) PWON yang paling rendah diantara kompetitornya. Sebagai informasi, PWON mencatatkan rasio DER sebesar 33,7%, kemudian PT Ciputra Development Tbk (CTRA) sebesar 45,3%, dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dengan rasio DER sebesar 36,3%.
Kesimpulannya, prospek PWON kedepan bisa terbilang cukup menjanjikan dibandingkan dengan saham properti lainnya, seperti CTRA ataupun BSDE, karena pendapatan PWON sendiri sebagian besarnya berasal dari segmen pusat perbelanjaan ketimbang segmen real estatnya. Jadi, kalaupun suku bunga mengalami peningkatan, kinerja PWON tidak akan terlalu berdampak, mengingat segmen real estatnya hanya berkontribusi sebesar 21,7% dari total pendapatannya di kuartal I-2023. Selain itu, valuasi PWON juga dinilai masih relatif murah, dimana rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 1,31x. Angka PBV ini pun masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata PBV PWON selama 5 tahun terakhir yang berada di kisaran 1,78x. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham PWON layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
2. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS)
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) adalah perusahaan yang berbasis di Indonesia yang utamanya bergerak dalam pengangkutan dan perdagangan minyak dan gas alam. Adapun, perseroan mengklasifikasikan bisnisnya menjadi 4 segmen, yaitu segmen transmisi/transportasi, segmen distribusi/niaga, segmen minyak dan gas, serta segmen lainnya, seperti jasa telekomunikasi, pembangunan dan pemeliharaan jaringan pipa, pengelolaan gedung dan sewa pembiayaan.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan minyak dan gas (migas), naik turunnya harga migas tentunya akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan. Adapun per 12 Juli 2023, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus meningkat 92 sen atau 1,23% ke level US$ 75,75 per barel. Sementara itu, harga minyak berjangka Brent untuk pengiriman September meningkat 71 sen atau 0,89% ke level US$ 79,40 per barel.
Kenaikan harga minyak ini pun didorong oleh langkah Arab Saudi yang akan memperpanjang masa pengurangan produksi 1 juta barel per hari (bpd) hingga Agustus mendatang, serta keputusan Rusia dan Aljazair untuk menurunkan tingkat produksi dan ekspor pada bulan Agustus dengan masing-masing sebesar 500.000 barel per hari dan 20.000 barel per hari. Selain itu, inflasi Amerika Serikat (AS) yang tercatat menurun ke level 3% secara tahunan pada Juni 2023 pun membuat para investor yakin bahwa bank sentral AS (The Fed) hanya akan meningkatkan suku bunganya untuk sekali lagi di tahun 2023 ini, setelah sebelumnya mengisyaratkan kenaikan sebanyak 2 kali untuk sisa tahun ini. Data inflasi AS ini pun turut menjadi salah satu sentimen positif yang mendongkrak harga minyak. Lantas, melihat prospek minyak mentah yang cukup cerah kedepannya, apakah saham PGAS ini layak untuk dikoleksi?
Sebagai informasi, pendapatan PGAS setiap tahunnya memang mengalami peningkatan yang cukup stabil, contohnya saja dari tahun 2021 ke tahun 2022, PGAS berhasil membukukan peningkatan pendapatan dari US$ 733.1 juta menjadi US$ 836.9 juta. Sementara itu, di kuartal I-2023, PGAS berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 933.7 juta. Pendapatan ini pun sebagian besarnya ditopang oleh niaga gas bumi pada pihak ketiga yang berkontribusi sebesar US$ 433.6 juta atau sekitar 46,6% dari total pendapatan PGAS di kuartal I-2023. Adapun, pendapatan dari niaga gas bumi ini terbagi lagi menjadi 3 bagian, dimana segmen industri dan komersial yang berkontribusi paling besar, kemudian diikuti oleh segmen rumah tangga dan terakhir segmen Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas atau SPBG.
Nah, melihat sebagian besar penjualan PGAS didistribusikan kepada industri dan rumah tangga, maka harga migas dunia cenderung tidak terlalu berdampak kepada PGAS. Saham PGAS justru lebih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam mengatur harga gas industri daripada harga minyak dan gas dunia. Kabar baiknya, harga gas bumi tertentu atau HGBT untuk tujuh bidang industri telah resmi dinaikkan dari yang sebelumnya US$ 6 per mmbtu, menjadi lebih tinggi atau maksimal US$ 7 per mmbtu. Penyesuaian tersebut pun tertuang dalam lampiran Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 91 Tahun 2023 yang ditetapkan pada 19 Mei 2023 lalu. Regulasi baru ini pun diproyeksikan dapat meningkatkan kinerja PGAS kedepannya, mengingat penjualan PGAS yang didominasi oleh segmen industri dan rumah tangga. Lantas, melihat prospek PGAS yang cukup menjanjikan karena adanya regulasi ini, bagaimana dengan kondisi keuangan perusahaan?
Laporan Keuangan
2023 – Q1 (USD) | 2022 – Q1 (USD) | 2021 – Q1 (USD) | |
Pendapatan | 933,745,145 | 836,915,729 | 733,154,143 |
Laba Bersih | 86,037,616 | 118,546,111 | 61,570,122 |
Total Asset | 7,357,450,264 | 7,389,341,318 | 7,524,619,278 |
Total Liabilitas | 3,789,030,771 | 3,963,363,526 | 4,502,148,029 |
Total Ekuitas | 3,568,419,493 | 3,425,977,792 | 3,022,471,249 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, PGAS berhasil membukukan peningkatan pendapatan dari US$ 836.9 juta menjadi US$ 933.7 juta di kuartal I-2023. Meskipun begitu, laba bersih perusahaan justru mengalami penurunan dari US$ 118.5 juta menjadi US$ 86 juta di kuartal I-2023. Adapun, penurunan laba bersih PGAS ini disebabkan oleh kenaikan beban pokok penjualan yang meningkat 16,29% menjadi US$ 757 juta. Sementara itu, aset perusahaan juga tercatat mengalami sedikit penurunan dari US$ 7.38 miliar menjadi US$ 7.35 miliar.
Di sisi lain, liabilitas perusahaan mengalami penurunan dari US$ 3.9 miliar menjadi US$ 3.7 miliar di kuartal I-2023, namun jumlah liabilitas ini masih jauh lebih besar dari ekuitas perusahaan yang tercatat meningkat dari US$ 3.4 miliar menjadi US$ 3.5 miliar. Nah, jumlah liabilitas yang jauh lebih besar dari ekuitasnya pun mengindikasikan bahwa perusahaan mungkin berada dalam kondisi yang tidak begitu solid. Hal ini pun tercermin dari rasio debt-to-equity (DER) PGAS yang mencapai 76.5%. Lalu, apakah saham PGAS masih layak untuk dikoleksi?
PGAS saat ini diketahui sedang melakukan penambahan basis jaringan pelanggan, baik industri maupun rumah tangga, dengan cara meningkatkan jaringan pipa gas di berbagai wilayah. Adapun, PGAS telah mengoperasikan lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) Jawa Timur yang memiliki kapasitas mencapai 192 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) pada kuartal keempat tahun 2022 lalu. Selain itu, proyek pipa transmisi Cirebon-Semarang tahap 1 dan fasilitas untuk Kawasan Industri Terpadu Batang yang ditargetkan rampung pada Agustus 2023 mendatang juga diproyeksikan dapat meningkatkan volume distribusi dan pasokan gas PGAS, yang dimana akan mendongkrak pendapatan PGAS kedepannya.
PGAS juga tergolong perusahaan yang rajin membagikan dividen. Sebagai informasi, PGAS membagikan dividen sebesar US$ 228,36 juta atau setara dengan 70% dari laba bersih PGAS pada tahun buku 2022. Dengan begitu, pemegang saham PGAS bakal menerima dividen sebesar Rp 141.05 per saham, dan akan dibayarkan pada 28 Juni 2023 mendatang. Selain itu, valuasi PGAS saat ini juga terbilang relatif murah, dimana rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 0.79x dan rasio Price to Earnings (PER) nya berada di kisaran 6.30x. Kesimpulannya, meskipun laba bersih PGAS mengalami penurunan di kuartal I-2023, propsek PGAS ini masih terbilang cukup menjanjikan karena didorong oleh kenaikan harga minyak, regulasi baru mengenai HGBT, serta peningkatan volume distrbusi dan pasokan gas berkat penambahan jaringan di berbagai wilayah. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham PGAS masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
3. PT Elnusa Tbk (ELSA)
PT Elnusa Tbk (ELSA) adalah perusahaan minyak dan gas terintegrasi yang berfokus pada tiga segmen utama, yaitu segmen jasa hulu migas, segmen jasa penunjang migas, dan segmen jasa distribusi dan logistik energi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, harga minyak mentah sendiri mengalami peningkatan yang cukup tinggi karena didorong sejumlah sentimen, seperti data inflasi Amerika Serikat (AS) yang melandai, kemudian Arab Saudi yang akan memperpanjang masa pengurangan produksi 1 juta barel per hari (bpd) hingga Agustus mendatang, serta kebijakan Rusia dan Aljazair untuk menurunkan tingkat produksi dan ekspor pada bulan Agustus dengan masing-masing sebesar 500.000 barel per hari dan 20.000 barel per hari. Lantas, dengan prospek minyak mentah yang cukup cerah kedepannya, apakah saham ELSA ini layak untuk dikoleksi?
Sebagai informasi, ELSA berhasil membukukan peningkatan pendapatan dari Rp 2.4 triliun di tahun 2022 menjadi Rp 3.1 triliun di kuartal I-2023. Adapun berdasarkan segmennya, segmen jasa distribusi dan logistik energi berkontribusi sebesar Rp 1.7 triliun atau sekitar 55,2% dari total pendapatan ELSA di kuartal I-2023. Sementara itu, segmen jasa hulu migas terintegrasi berkontribusi sebesar Rp 974.9 miliar atau sekitar 31%, dan segmen jasa penunjang migas berkontribusi sebesar Rp 432.6 miliar atau sekitar 35,8% dari total pendapatan ELSA di kuartal I-2023.
Nah, berdasarkan pembagian pendapatannya, dapat terlihat bahwa pendapatan ELSA di kuartal I-2023 sebagian besarnya ditopang oleh pendapatan dari segmen jasa distribusi dan logistik energi. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kenaikan dari harga minyak mentah dunia itu sendiri sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja ELSA. Justru, kenaikan permintaan akan minyak mentah baru akan menguntungkan ELSA. Adapun, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memproyeksikan bahwa permintaan minyak global pada tahun ini masih akan tetap stabil, dan meningkat sebesar 2,25 juta barel per hari (bph) pada tahun 2024.
Selain itu, ELSA juga baru-baru ini merealisasikan belanja modal sebesar Rp200 miliar untuk alokasi armada mobil tangki baru. Adapun, penambahan armada mobil tangki ini nantinya akan dikelola oleh anak usaha ELSA, yaitu PT Elnusa Petrofin (EPN) dan akan dioperasikan di wilayah operasi Pertamina pada berbagai area seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Penambahan armada mobil tangki ini pun dapat dikatakan merupakan investasi yang tepat, dan berpotensi meningkatkan kinerja ELSA kedepannya, mengingat jasa distribusi dan logistik energi memang merupakan sumber utama pendapatan ELSA.
Pada bulan Mei 2023 lalu, ELSA bersama dengan PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) juga berhasil menemukan cadangan minyak dan gas baru di sumur Helios D-1 yang berlokasi di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Capaian tersebut pun sejalan dengan target pemerintah untuk memproduksi minyak 1 juta barel per hari dan produksi gas 12 BSCFD pada tahun 2030 mendatang, serta dapat memperluas cakupan ELSA di segmen jasa hulu migas. Nah, penemuan cadangan minyak ini ditambah dengan kenaikan harga minyak tentunya akan menambah porsi pendapatan ELSA dari segmen jasa hulu migas. Lantas, melihat prospek ELSA yang cukup cerah kedepannya, bagaimana dengan kondisi keuangannya?
Laporan Keuangan
2023 – Q1 | 2022 – Q1 | 2021 – Q1 | |
Pendapatan | 3,143,190,000,000 | 2,445,441,000,000 | 1,819,169,000,000 |
Laba Bersih | 114,914,000,000 | 74,934,000,000 | 1,607,000,000 |
Total Asset | 9,023,612,000,000 | 7,442,368,000,000 | 7,374216,000,000 |
Total Liabilitas | 4,791,486,000,000 | 3,589,299,000,000 | 3,631,663,000,000 |
Total Ekuitas | 4,232,126,000,000 | 3,853,069,000,000 | 3,742,553,000,000 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, ELSA berhasil membukukan peningkatan pendapatan yang signifikan, dari Rp 2.4 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp 3.1 triliun di kuartal I-2023. Sejalan dengan itu, laba bersih perusahaan juga meningkat pesat dari Rp 74.9 miliar menjadi Rp 114.9 miliar, dan aset perusahaan juga meningkat dari Rp 7.4 triliun menjadi Rp 9.02 triliun di kuartal I-2023. Sementara itu, ekuitas perusahaan tercatat mengalami peningkatan dari Rp 3.8 triliun menjadi Rp 4.2 triliun, dan perusahaan juga turut membukukan peningkatan liabilitas dari Rp 3.5 triliun di tahun 2022 menjadi Rp 4.7 triliun di kuartal I-2023. Nah, jumlah liabilitas yang jauh lebih besar ketimbang ekuitasnya pun menandakan bahwa perusahaan mungkin berada dalam kondisi yang tidak begitu sehat. Lantas, apakah saham ELSA ini masih layak untuk dikoleksi?
Prospek ELSA sendiri dapat terbilang cukup cerah, mengingat ekspansi yang dilakukan untuk menunjang segmen distribusi dan logistik energinya, serta penemuan cadangan minyak dan kenaikan harga minyak yang bisa turut meningkatkan pendapatan ELSA dari segmen jasa hulu migas. ELSA juga merupakan salah satu perusahaan yang tergolong rajin membagikan dividen. Adapun, ELSA membagikan dividen sebesar Rp 189 miliar atau setara 50% dari laba bersih tahun buku 2022. Selain itu, valuasi ELSA untuk saat ini juga terbilang cukup murah, dimana rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 0.65x dan rasio Price to Earnings (PER) nya berada di kisaran 5.94x. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham ELSA ini masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
Disclaimer:
Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.
By Aurel Fawz Finansial Indonesia