PT Fawz Finansial Indonesia
NEWSLETTER
15 September 2023
4 September 2023 | 15 September 2023 | Perbedaan | % | |
---|---|---|---|---|
IHSG | 6978 | 6959 | -19 | -0.3% |
LQ45 | 967 | 956 | -11 | -1.1% |
EIDO | 23.2 | 22.7 | -0.5 | -2.2% |
Japan Nikkei 225 | 32711 | 33168 | 457 | 1.4% |
Shanghai CI | 3133 | 3127 | -6 | -0.2% |
Dow Jones | 34838 | 34907 | 69 | 0.2% |
Nasdaq | 14032 | 13926 | -106 | -0.8% |
Emas | 1967 | 1931 | -36 | -1.8% |
IHSG Bakal Tembus Level 7.000?
Pada hari Kamis (14/9/2023) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali ditutup di zona hijau. Adapun, IHSG ditutup menguat 0,34% ke level 6.959, dengan nilai transaksi perdagangan sebesar Rp 13,33 triliun dan volume perdagangan senilai 35,36 miliar. Penutupan ini pun membuat IHSG semakin mendekati level 7.000.
Sebagai informasi, IHSG tercatat beberapa kali mencoba menembus level 7.000, diantaranya pada 30 Agustus 2023 (level tertinggi harian di 7.008), 4 September (level tertinggi harian di 7.007) dan 5 September (level tertinggi harian di 7.014). Namun, hingga saat ini (15 September 2023), IHSG masih belum pernah ditutup di atas level 7.000.
Tertekannya IHSG ini pun disebabkan oleh sejumlah sentimen, termasuk keputusan suku bunga The Fed yang tengah dinantikan oleh para pelaku pasar, serta kondisi dalam negeri yang saat ini sedang dibayang-bayangi oleh kenaikan inflasi serta cadangan devisa yang menurun. Meskipun begitu, IHSG masih berpotensi untuk menembus level 7.000 dan berada direntang 7.200 – 7.300 hingga akhir tahun 2023.
Peningkatan IHSG dipicu oleh proyeksi bahwa perekonomian Indonesia akan tetap lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian global. Perekonomian Indonesia diperkirakan akan tumbuh antara 4,5% hingga 5,3% di tahun 2023, sementara pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berada di kisaran 2,8% hingga 3%. Indonesia juga telah melampaui ekspektasi pasar dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% pada kuartal I-2023 dan 5,17% pada kuartal II-2023.
Selain itu, investor juga akan mulai berfokus pada pemilihan umum presiden yang akan digelar pada 2024 mendatang. Biasanya, indeks akan mengalami kenaikan dalam kurun waktu enam bulan sebelum pemilu. Adapun selama 4 momentum terakhir pemilu, yaitu pada 2004, 2009, 2014 dan 2019, IHSG terlihat mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20%. Dengan begitu, IHSG di tahun 2023 ini pun diperkirakan akan meningkat sebesar 20%.
TikTok Dilarang Jualan, Apa Dampaknya ke Saham E-commerce?
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Teten Masduki, telah mengumumkan bahwa pihaknya akan melarang TikTok, aplikasi yang berasal dari China, untuk beroperasi sebagai platform media sosial dan e-commerce di Indonesia. Meskipun begitu, masih belum ada kepastian resmi terkait implementasi larangan tersebut.
Usai pengumuman tersebut, beberapa emiten teknologi berbasis e-commerce pun terpantau melesat. Adapun hingga akhir perdagangan hari Jumat (8/9/2023), saham PT Bukalapak Tbk (BUKA) berhasil naik 5,15% ke level Rp 246 per saham. Selain itu, saham PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) atau Blibli juga tercatat meningkat 0,44% ke level Rp 454. Lantas, apakah larangan ini akan menjadi berkah bagi emiten e-commerce?
Source: cnbcindonesia.com
Berdasarkan data perbandingan Gross Merchant Value (GMV), yang mengukur traffic transaksi belanja di marketplace, Shopee masih menjadi pilihan dengan porsi GMV terbanyak pada tahun 2022, yaitu dengan porsi sebesar 36%. Kemudian Tokopedia menduduki posisi kedua dengan porsi 35%, dan Lazada di posisi ketiga dengan porsi 10%. Sementara itu, TikTok Shop sendiri berada di posisi keempat dengan porsi yang cukup rendah, yaitu 5%. Dengan begitu, jika TikTok Shop benar-benar dilarang beroperasi di Indonesia, dampaknya mungkin tidak akan terlalu besar terhadap pendapatan atau volume transaksi di industri e-commerce secara keseluruhan, mengingat TikTok menduduki posisi keempat berdasarkan data GMV di Indonesia.
Indonesia Siap Ekspor Listrik ke Singapura!
Indonesia dan Singapura telah resmi menjalin kerjasama terkait jual beli listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) lintas negara. Kesepakatan ini pun ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif, dan Second Minister for Trade and Industry Singapura, Tan See Leng, pada hari Jumat (8/9/2023).
Dari kerjasama ini, Indonesia nantinya diperkirakan akan mengekspor listrik sekitar 2 Giga Watt (GW) ke Singapura. Adapun, menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P. Hutajulu, ekspor listrik dari Indonesia ke Singapura tersebut kemungkinan akan ditransmisikan melalui jalur laut.
Sebagai informasi, sudah terdapat beberapa perusahaan Indonesia dan luar negeri lainnya yang bergabung pada rencana perdangangan listrik tersebut. Adapun lewat kesempatan investasi ini, perusahaan-perusahaaan itu akan membangun kapasitas panel surya hingga 11 GW dan penyimpanan baterai 21 GW di Indonesia.
Beberapa perusahaan tersebut diantaranya adalah PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO), PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) dan PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA), yang masing-masing berpartisipasi dalam kerjasama ini melalui PT Adaro Clean Energy Indonesia (Adaro Green), PT Medco Power Indonesia (Medco Power), dan PT Energi Baru TBS (Energi Baru). Ketiganya juga telah menandatangani nota kesepahaman EBT dengan beberapa pabrikan manufaktur Solar Photovoltaic (PV) dan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (SPEB).
Simak Ulasan Saham Minggu Ini
- PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA)
PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) merupakan perusahaan yang berbasis di Indonesia yang bergerak di bidang perkebunan dan bisnis manufaktur. Perusahaan juga bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit dan tebu; dan pembuatan minyak goreng sawit, gula, minyak sawit mentah (CPO), sabun dan biodiesel.
Berdasarkan segmennya, produk pabrikasi dan turunannya dari pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit berkontribusi sebesar Rp 2.9 triliun atau sekitar 36.3% dari total pendapatan TBLA di tahun 2022. Sementara itu, produk pabrikasi dan sampingan dari pengolahan gula rafinasi dan gula berkontribusi sebesar Rp 4.4 triliun atau sekitar 26,6% dari total pendapatan TBLA di tahun 2022. Nah, berdasarkan pembagian pendapatan berdasarkan segmen ini, dapat terlihat bahwa pendapatan TBLA sebagian besarnya ditopang oleh pendapatan dari segmen perkebunan kelapa sawit. Lantas, bagaimana prospek minyak kepala sawit kedepannya?
Berdasarkan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Bursa Malaysia Exchange, terlihat bahwa harga CPO tercatat menurun 3,71% dalam seminggu ke MYR 3.714 per ton pada tanggal 11 September 2023. Harga CPO juga diperkirakan akan lebih rendah ke depannya, bahkan pengamat mata uang dan komoditas, Lukman Leong, memproyeksikan bahwa harga CPO akan berada di rentang MYR 3.000 – 3.300 per ton. Penurunan harga CPO ini pun disebabkan oleh oversupply CPO yang terjadi di Malaysia.
Sebagai informasi, produksi CPO di Malaysia pada bulan Agustus 2023 mengalami peningkatan, dan diprediksi akan mencapai level tertinggi dalam enam bulan, yaitu sekitar 1,89 juta ton. Dengan adanya oversupply, harga CPO berisiko mengalami penurunan lebih lanjut. Meskipun begitu, harga CPO masih memiliki potensi untuk meningkat dalam jangka panjang, terutama karena adanya fenomena iklim El Nino dan La Nina.
El Nino sendiri adalah fenomena iklim yang menyebabkan Suhu Muka Air Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah naik di atas tingkat normal. Sementara La Nina merupakan fenomena iklim yang menyebabkan suhu muka laut di wilayah tersebut mengalami penurunan, sehingga udara terasa lebih dingin dari biasanya. Puncak El Nino di Indonesia sendiri diprediksikan terjadi pada akhir September hingga awal Oktober 2023, dan baru akan berakhir sekitar awal tahun 2024. Nah, setelah El Nino ini berakhir, maka La Nina pun berpotensi melanda Indonesia. Pasalnya, La Nina memiliki siklus setiap 3-4 tahun, dan La Nina di Indonesia terakhir terjadi pada September 2020 lalu. Dengan begitu, ada potensi La Nina akan menghampiri Indonesia pada akhir 2023 atau awal 2024 mendatang.
Kedua fenomena iklim ini pun berpotensi mengkerek harga CPO kedepannya, karena cuaca ekstrem akibat 2 fenomena ini berpotensi menyebabkan sawit gagal panen, sehingga terjadi penurunan produksi. Namun, mari kita buktikan sendiri bagaimana dampak 2 fenomena iklim ini terhadap kinerja TBLA berdasarkan laporan keuangan perusahaan.
Sebelumnya, Indonesia pernah dilanda El Nino lemah pada tahun 2006 dan El Nino kuat pada tahun 2009. Melihat kembali histori perusahaan, pendapatan TBLA pada tahun 2006 mengalami penurunan sekitar 21% dari Rp 1.2 triliun menjadi Rp 1.19 triliun. Begitu pula dengan pendapatan TBLA di tahun 2009, yang tercatat menurun sekitar 29,6% dari Rp 3.9 triliun menjadi Rp 2.7 triliun. Dengan begitu, dapat terlihat bahwa fenomena El Nino ini sebenarnya tidak mengkerek pendapatan TBLA, malah justru menurunkan pendapatan TBLA.
Di sisi lain, La Nina yang terjadi pada tahun 2020 justru tercatat meningkatkan pendapatan TBLA dari Rp 8.5 triliun menjadi Rp 10.8 triliun. Begitu pula dengan La Nina yang terjadi pada tahun 2016, dimana pendapatan TBLA juga tercatat meningkat dari Rp 5.3 triliun menjadi Rp 6.5 triliun. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa fenomena El Nino justru mengurangi pendapatan TBLA dan sebaliknya, fenomena La Nina justru berpotensi mengkerek pendapatan TBLA. Nah, melihat kinerja TBLA di tahun 2023 yang mungkin tidak akan begitu menjanjikan, karena Indonesia masih dilanda fenomena El Nino, apakah saham TBLA ini masih layak untuk dikoleksi?
Laporan Keuangan
2023 – Q2 | 2022 – Q2 | 2021 – Q2 | |
Pendapatan | 8,015,777,000,000 | 8,003,436,000,000 | 6,830,818,000,000 |
Laba Bersih | 335,676,000,000 | 381,896,000,000 | 379,547,000,000 |
Total Asset | 23,694,973,000,000 | 22,488,064,000,000 | 19,730,008,000,000 |
Total Liabilitas | 16,187,873,000,000 | 15,611,679,000,000 | 13,456,838,000,000 |
Total Ekuitas | 7,507,100,000,000 | 6,876,385,000,000 | 6,273,170,000,000 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, TBLA hanya berhasil membukukan sedikit peningkatan pendapatan dari Rp 8.00 triliun menjadi Rp 8.01 triliun pada semester I-2023. Sementara itu, laba bersih perusahaan tercatat mengalami penurunan dari Rp 381.8 miliar menjadi Rp 335.6 miliar di semester I-2023. Di sisi lain, aset perusahaan tercatat meningkat dari Rp 22.4 triliun menjadi Rp 23.6 triliun, dan ekuitas perusahaan juga meningkat dari Rp 6.8 triliun menajdi Rp 7.5 triliun di semester I-2023.
Namun, sekalipun perusahaan berhasil membukukan peningkatan ekuitas, nyatanya ekuitas perusahaan masih jauh lebih kecil dibandingkan liabilitasnya yang tercatat meningkat dari Rp 15.6 triliun menjadi Rp 16.1 triliun di semester I-2023. Jumlah liabilitas yang jauh lebih besar dibandingkan ekuitasnya pun mengindikasikan bahwa perusahaan mungkin berada dalam kondisi yang kurang solid. Hal ini pun terlihat dari rasio debt-to-equity (DER) perusahaan yang tercatat sebesar 215,99%. Angka DER ratio diatas 200% umumnya mengindikasikan bahwa kondisi perusahaan sudah beresiko tinggi, dan sangat rawan dengan berbagai macam resiko, termasuk salah satunya kebangkrutan. Lantas, melihat utang perusahaan yang sangat besar ini, apakah saham TBLA masih layak untuk dikoleksi?
Meskipun masih ada risiko yang cukup besar di saham CPO untuk jangka menengah sehingga ada potensi harga saham masih koreksi ke depannya. Namun, saham TBLA sendiri masih jauh lebih baik dibandingkan kompetitornya, mengingat TBLA tidak hanya bergerak di bidang CPO, namun perseroan juga bergerak di bidang pengolahan gula rafinasi yang berasal dari tebu. Sebagai informasi, PT Pertamina (Persero) resmi meluncurkan BBM jenis baru yaitu Pertamax Green 95, yang diklaim ramah lingkungan, karena dibuat dari bahan baku tebu.
Pertamax Green 95 ini pun merupakan salah satu upaya Pertamina untuk mewujudkan Net Zero Emission (NZE) 2060. Seperti yang kita ketahui, pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk mewujudkan net zero emission (NZE) pada tahun 2060, atau bahkan bisa lebih cepat dari tenggak waktu itu. Maka dari itu, peluncuran BBM Pertamax Green 95 yang menggunakan bahan baku tebu dan dukungan pemerintah terhadap program Net Zero Emission (NZE) 2060, berpotensi memberikan peluang cuan untuk saham TBLA.
Sementara itu, diantara emiten perkebunan sawit, TBLA juga dinilai memiliki valuasi yang cukup murah, dimana rasio Price-to-Earnings (PER) nya berada di kisaran 7.49x dan rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 0.67x. Sementara rasio PER PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) berada di kisaran 19.57x dan rasio PBVnya berada di kisaran 0.67x. Kemudian rasio PER PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) berada di kisaran 24.03x dan rasio PBVnya berada di kisaran 1.93x. Nah, angka PER dan PBV yang lebih rendah dibandingkan kompetitornya pun mengindikasikan bahwa saham TBLA ini jauh lebih murah ataupun undervalued. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham TBLA masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
2. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) adalah perusahaan yang kegiatan utama anak-anak perusahaannya meliputi pertambangan dan penggalian, perindustrian, perdagangan, jasa konstruksi, pengangkutan, jasa kontraktor, distribusi, perindustrian dan jasa teknik, termasuk penyediaan tenaga listrik dan jasa penunjang ketenagalistrikan lainnya.
Berdasarkan segmennya, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi berkontribusi sebesar US$ 393,5 juta atau sekitar 70,5% dari total pendapatan MEDC di kuartal I-2023. Sementara itu, pendapatan kontrak konstruksi berkontribusi sebesar US$ 2.09 juta atau sekitar 3,7% dari total pendapatan MEDC. Kemudian, pendapatan kontrak penjualan listrik berkontribusi sebesar US$ 111,2 juta atau setara dengan 19,9%, dan pendapatan perdagangan berkontribusi sebesar US$ 51.2 juta atau sekitar 9,1% dari total pendapatan MEDC di kuartal I-2023. Nah, berdasarkan pembagian pendapatan berdasarkan segmen ini, dapat terlihat bahwa sebagian besar pendapatan MEDC berasal dari segmen minyak dan gas bumi (migas). Lantas, bagaimana prospek segmen migas ini kedepannya?
Sebagai informasi, pada awal perdagangan hari Selasa (12/9/2023), harga minyak terpantau menguat tipis, dengan harga minyak mentah WTI menguat sebesar 0,49% ke level US$ 87.72 per barel, dan harga minyak mentah brent menguat sebesar 0,4% ke level US$ 91 per barel. Penguatan ini pun membawa harga minyak menyentuh level tertinggi untuk kali pertama, sejak 16 November 2022 atau hampir 10 bulan terakhir. Harga minyak juga diproyeksikan masih akan naik mengingat pengetatan pasokan yang dilakukan Arab Saudi dan Rusia.
Sebagai informasi, Arab Saudi akan mengurangi produksi minyak mentahnya hingga 1 juta barel per hari hingga akhir tahun. Sementara Rusia akan mengurangi ekspor minyaknya sebesar 500.000 barrel per hari di Agustus dan 300.000 barrel per hari di September. Dengan perpanjangan pengurangan produksi ini, diperkirakan akan ada defisit pasokan minyak sebesar lebih dari 1,5 juta barel per hari pada kuartal IV-2023, sehingga harga minyak pun diperkirakan akan naik ke level US$ 95 per barel pada akhir tahun ini. Lantas, melihat kinerja MEDC yang akan terdorong dari menguatnya harga minyak ini, apakah saham MEDC layak untuk dikoleksi? Bagaimana dengan kondisi keuangan perusahaan untuk saat ini?
Laporan Keuangan
2023 – Q2 (USD) | 2022 – Q2 (USD) | 2021 – Q2 (USD) | |
Pendapatan | 558,092,635 | 489,340,800 | 300,237,440 |
Laba Bersih | 82,055,769 | 90,039,355 | 14,588,899 |
Total Asset | 6,834,525,429 | 6,996,136,648 | 5,996,555,159 |
Total Liabilitas | 4,982,971,377 | 5,702,691,846 | 4,635,439,962 |
Total Ekuitas | 1,851,554,052 | 1,293,444,802 | 1,361,115,197 |
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, MEDC berhasil membukukan peningkatan pendapatan dari US$ 489.3 juta menjadi Rp 558 juta pada semester I-2023. Meskipun begitu, laba bersih perusahaan justru tercatat mengalami penurunan dari US$ 90 juta menjadi US$ 82 juta. Penurunan laba bersih ini pun terjadi karena beban pokok pendapatan perusahaan tercatat meningkat dari US$ 231.8 juta menjadi US$325,6 juta. Sejalan dengan itu, aset perusahaan juga mengalami penurunan dari US$ 6.9 miliar menjadi US$ 6.8 miliar. Sementara ekuitas perusahaan tercatat meningkat dari US$ 1.2 miliar menjadi US$ 1.8 miliar, dan liabilitas perusahaan juga tercatat menurun dari US$ 5.7 miliar menjadi US$ 4.9 miliar di semester I-2023.
Nah, meskipun jumlah liabilitas mengalami penurunan, nyatanya jumlah liabilitas ini masih jauh lebih besar dibandingkan dengan total ekuitasnya, yang menandakan bahwa perusahaan mungkin berada dalam kondisi yang kurang sehat. Hal ini juga terlihat dari rasio debt-to-equity (DER) perusahaan yang tercatat sebesar 300,15%. Angka DER ratio diatas 300% pun mengindikasikan bahwa kondisi perusahaan sudah sangat beresiko tinggi, dan rawan dengan berbagai macam resiko, termasuk kebangkrutan. Lantas, melihat utang perusahaan yang sangat besar ini, apakah saham MEDC ini masih layak untuk dikoleksi?
Belum lama ini, MEDC melalui anak usahanya, Medco Power Global bersama mitra konsorsiumnya PacificLight Renewables Pte Ltd dan Gallant Venture Ltd, telah mendapatkan persetujuan bersyarat dari Energy Market Authority (EMA) Singapura untuk mengekspor listrik berkapasitas 600 megawatt. Proyek yang sedang dalam tahap studi kelayakan ini pun memiliki kapasitas total sebesar 1500 MW, dan diperkirakan bakal meningkatkan kapasitasnya hingga 1,5 kali lipat, dengan target operasional pada 2028 mendatang. Nah, mengingat segmen penjualan listrik menjadi kontribusi terbesar kedua terhadap pendapatan MEDC di semester I-2023 ini, maka kerjasama ini dapat mendorong kinerja MEDC kedepannya.
Selain itu, lonjakan harga PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN) juga akan berdampak terhadap saham MEDC. Sebagai informasi, MEDC memiliki 23,13% saham AMMN, dan nilai investasi MEDC di AMMN diketahui mencapai US$511 juta. Dengan begitu, cuannya saham AMMN akan memberikan dampak positif terhadap saham MEDC. Seperti yang sudah dijelaskan di newsletter sebelumnya, saham AMMN sudah melesat hingga 167,26% per Agustus 2023 dari harga IPOnya. Bahkan, dalam bulan September ini saja, saham AMMN baru tercatat dua kali melemah, yakni pada perdagangan Kamis (14/9) dan perdagangan Senin (11/9).
Selain menduduki posisi sebagai pemain besar di sektor tembaga dan emas, AMMN melalui anak usahanya, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) juga telah berhasil mendapatkan izin ekspor 900.000 wet ton konsentrat tembaga sejak 24 Juli 2023 hingga 31 Mei 2024. Dengan izin ekspor ini, maka AMMN mendapatkan kepastian untuk kembali melakukan ekspor dan pastinya berpotensi mengkerek pendapatan AMMN kedepannya, yang dimana hasilnya juga akan berdampak terhadap saham MEDC selaku pemegang 23,13% saham AMMN.
Kesimpulannya, disamping kondisi keuangan perusahaan yang kurang sehat, saham MEDC sendiri masih mempunyai prospek yang cukup cerah, mulai dari harga minyak yang diproyeksikan bakal naik seiring dengan pemangkasan produksi Rusia dan Arab Saudi, lalu izin ekspor listrik ke singapura, serta melesatnya saham AMMN yang dapat memberikan dampak positif terhadap MEDC. Selain itu, MEDC juga dinilai masih memiliki valuasi yang cukup murah, dimana rasio Price-to-Earnings (PER) nya berada di kisaran 7.91x dan rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 1.16x. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham MEDC masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
3. PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM)
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) adalah perusahaan yang utamanya bergerak dalam bidang jasa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan jaringan telekomunikasi. Jika dilihat berdasarkan pendapatannya, segmen dari Data, Internet & IT Services masih menjadi kontribusi utama terhadap pendapatan TLKM di semester I-2023, dimana segmen ini berkontribusi sebesar Rp 43.4 triliun, lalu segmen IndiHome menjadi kontribusi terbesar kedua dengan nilai mencapai Rp 14.3 triliun. Kemudian diikuti oleh pendapatan telepon yang berkontribusi sebesar Rp 5.7 triliun dan pendapatan interkoneksi sebesar Rp 4.4 triliun, serta pendapatan lainnya senilai Rp 2.9 triliun. Lantas, apakah sentimen Starlink milik Elon Musk masuk ke Indonesia bakal berdampak terhadap saham TLKM?
Sebagai informasi, Starlink merupakan program internet satelit yang berada di bawah naungan SpaceX, milik Elon Musk. Adapun, kerjasama antara TLKM dengan Starlink sebenarnya sudah terjadi sejak Juni 2022 lalu, yang dijalankan melalui anak usahanya, yaitu PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun telah memberikan Satelit Khusus Non Geostationer (NGSO) kepada Telkomsat pada Juni 2023 lalu, dimana Starlink akan digunakan untuk keperluan layanan backhaul Telkom Group.
Nah, jika Telkom berhasil melakukan penjualan produk teknologi Starlink ke ritel, maka kerjasama antara TLKM dan Starlink diyakini dapat meningkatkan posisi dan kinerja Telkom di masa depan serta memperkuat posisi Telkom di Indonesia. Meskipun begitu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, baru-baru ini menyebutkan bahwa Starlink nantinya akan menyediakan layanan langsung kepada pelanggan ritel atau business to customer (B2C) tanpa melibatkan operator lokal seperti Telkom. Beralihnya model bisnis Starlink dari business to business (B2B) menjadi business to customer (B2C) ini pun tentunya akan membuat TLKM berisiko kehilangan potensi pendapatan. Lantas, apakah saham TLKM ini masih layak untuk dikoleksi? Bagaimana dengan kondisi keuangan perusahaan saat ini?
Laporan Keuangan
2023 – Q2 | 2022 – Q2 | 2021 – Q2 | |
Pendapatan | 73,478,000,000,000 | 71,983,000,000,000 | 69,480,000,000,000 |
Laba Bersih | 12,756,000,000,000 | 13,310,000,000,000 | 12,451,000,000,000 |
Total Asset | 290,478,000,000,000 | 275,272,000,000,000 | 263,977,000,000,000 |
Total Liabilitas | 150,127,000,000,000 | 134,593,000,000,000 | 153,870,000,000,000 |
Total Ekuitas | 140,351,000,000,000 | 140,679,000,000,000 | 110,107,000,000,000 |
Berdasarkan laporan keuangan diatas, TLKM tercatat sukses meningkatkan pendapatannya dari Rp 71.9 triliun menjadi Rp 73.4 triliun di semester I-2023. Meskipun begitu, laba bersih perusahaan justru mengalami penurunan dari Rp 13.3 triliun menjadi Rp 12.7 triliun. Penurunan laba bersih ini pun disebabkan oleh kenaikan biaya dan beban, dimana beban operasi, pemeliharaan, dan jasa telekomunikasi yang tercatat meningkat 7,41% (yoy) menjadi Rp 19,17 triliun.
Sementara itu, aset perusahaan tercatat meningkat dari Rp 275.2 triliun menjadi Rp 290.4 triliun, dan liabilitas juga meningkat dari Rp 134.5 triliun menjadi Rp 150.1 triliun. Ekuitas perusahaan juga tercatat mengalami sedikit penurunan dari Rp 140.6 triliun menjadi Rp 140.3 triliun. Nah, jumlah ekuitas yang meningkat dan jauh melebihi jumlah ekuitasnya pun menandakan bahwa kondisi perusahaan mungkin sedang tidak baik-baik saja. Hal ini pun tercermin dari rasio debt-to-equity (DER) perusahaan yang tercatat sebesar 121,22%. Lantas, dengan utang yang menggunung, apakah saham TLKM masih layak untuk dikoleksi?
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 29 Juni 2023 lalu telah resmi menandatangani akta pemisahan untuk mengintegrasikan IndiHome ke Telkomsel. Dengan penandantanganan ini, Telkomsel pun secara resmi akan mengambil alih pengoperasian IndiHome mulai dari 1 Juli 2023. Adapun, setelah proses integrasi IndiHome ini selesai, kepemilikan efektif Telkom di Telkomsel akan naik menjadi 69,9%. Sementara itu, kepemilikan Singtel di Telkomsel akan menjadi 30,1%.
Sebagai informasi, aksi merger Indihome dan Telkomsel ini dilakukan dengan skema inbreng atau skema suntikan modal dalam bentuk aset, dimana Telkomsel akan menerbitkan saham baru yang kemudian akan ditukar dengan aset Indihome. Nah, dengan aksi merger ini, TLKM nantinya akan lebih efisien dari segi biaya operasional dan mendapatkan tambahan pendapatan dari Telkomsel. TLKM juga berpotensi mendapatkan mitra strategis untuk mengembangkan bisnis fixed broadband dan mengakuisisi pelanggan Telkomsel yang sudah masuk ke layanan IndiHome, sehingga TLKM pun berpotensi meningkatkan penjualannya dari cross-selling antara produk Indihome dan Telkomsel.
Kesimpulannya, meskipun TLKM mencatatkan penurunan laba, namun perusahaan masih mampu membukukan peningkatan pendapatan. Selain itu, sekalipun masuknya Starlink dapat mengancam TLKM karena Starlink nantinya akan memberikan layanan langsung ke pelanggan ritel atau business to customer (B2C), tanpa melibatkan operator lokal seperti Telkom, TLKM masih berpotensi meraup cuan dari hasil merger Indihome dan Telkomsel, mengingat sumber pendapatan kedua terbesar TLKM memang berasal dari segmen Indihome.
Sementara itu, diantara emiten telekomunikasi, TLKM juga dinilai memiliki valuasi yang cukup murah, dimana rasio Price-to-Earnings (PER) nya berada di kisaran 14.33x dan rasio Price to Book Value (PBV) nya berada di kisaran 2.95x. Sementara rasio PER PT. XL Axiata Tbk (EXCL) berada di kisaran 24.01x dan rasio PBVnya berada di kisaran 1.21x. Kemudian rasio PER PT Indoesat Tbk (ISAT) berada di kisaran 21.12x dan rasio PBVnya berada di kisaran 2.86x. Nah, angka PER dan PBV yang lebih rendah dibandingkan kompetitornya pun mengindikasikan bahwa saham TLKM ini masih jauh lebih murah. Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, saham TLKM masih layak untuk mendapatkan rekomendasi BUY.
Disclaimer:
Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.
By Aurel Fawz Finansial Indonesia