PT Fawz Finansial Indonesia
Newsletter Bonds Market
1 Oktober 2024
Benchmark Series
Series | Maturity Date | Coupon | Price 13/9/2024 | Price 13/9/2024 | Price Changes |
FR0102 | 15 Jul 2054 | 6,875% | 100,60 | 100,50 | -0,1% |
FR0101 | 15 Apr 2029 | 6,875% | 101,65 | 102,95 | 1.3% |
FR0100 | 15 Feb 2034 | 6,625% | 100,40 | 101,40 | 1.0% |
FR0098 | 15 Jun 2038 | 7,125% | 103,95 | 104,30 | 0.3% |
FR0097 | 15 Jun 2043 | 7,125% | 103,70 | 103,65 | 0.0% |
Obligasi Terlaris Berdasarkan Volume
Series | Avg Price | Volume (bio) | Freq |
FR0100 | 101,41 | 2,060.78 | 146.00 |
FR0081 | 100,44 | 1,217.65 | 126.00 |
FR0104 | 101,43 | 936.38 | 14.00 |
FR0091 | 99,93 | 815.18 | 146.00 |
FR0087 | 100,82 | 785.16 | 72.00 |
Benchmark All Time High (ATH) & All Time Low (ATL)
Series | Yield | Bid | Offer | |||
ATL | ATH | ATL | ATH | ATL | ATH | |
FR0102 | 6,82% | 7,11% | 97,10 | 101,85 | 95,50 | 100,75 |
FR0101 | 6,28% | 7,02% | 99,40 | 103,30 | 98,55 | 102,80 |
FR0100 | 6,29% | 7,16% | 96,15 | 102,50 | 95,50 | 101,70 |
FR0097 | 6,34% | 7,51% | 95,99 | 108,30 | 94,99 | 108,05 |
FR0096 | 6,07% | 7,67% | 95,58 | 106,70 | 94,89 | 105,75 |
Macro Highlights
(15 September – 1 Oktober 2024)
Amerika Serikat
- Penjualan Eceran
Penjualan ritel di AS tumbuh 2,1% pada Agustus 2024 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mengikuti peningkatan 2,9% pada Juli yang telah direvisi. Secara bulanan, penjualan ritel naik sedikit 0,1% pada Agustus 2024 setelah lonjakan 1,1% di bulan sebelumnya, melebihi perkiraan penurunan 0,2%, menunjukkan bahwa belanja konsumen masih cukup kuat.
- Suku Bunga
The Federal Reserve (The Fed) AS menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75%-5,0% pada September 2024, penurunan pertama sejak Maret 2020. The Fed juga merilis proyeksi ekonomi baru, memperkirakan pelonggaran sebesar 100 basis poin hingga akhir tahun, yang mencerminkan dua kali pemotongan 25 basis poin lagi. Pada 2025, diperkirakan akan ada pemotongan tambahan sebesar 1 poin persentase, diikuti dengan pengurangan akhir sebesar 50 basis poin pada 2026.
- Investasi Obligasi Asing
Pembelian bersih obligasi dan surat utang negara AS melonjak sebesar 55,9 miliar dolar pada Juli 2024, tertinggi sejak April. Rata-rata investasi obligasi asing di AS mencapai 10,4 miliar dolar AS dari 1978 hingga 2024, dengan rekor tertinggi 175,2 miliar dolar pada Agustus 2022 dan rekor terendah -310,8 miliar dolar pada Maret 2020.
- PMI Jasa AS
Indeks PMI Jasa AS versi Global S&P turun menjadi 55,4 pada September 2024, sedikit di atas ekspektasi pasar sebesar 55,3, namun menurun dari 55,7 pada Agustus. Meski begitu, kuartal ini tetap menjadi yang terkuat sejak awal 2022.
- PMI Manufaktur AS
Indeks PMI Manufaktur AS Global S&P turun menjadi 47 pada September 2024, lebih rendah dari 47,9 pada bulan sebelumnya, berlawanan dengan ekspektasi pasar yang memprediksi kenaikan ke 48,5. Ini menandakan kontraksi tiga bulan berturut-turut pada aktivitas manufaktur AS, dengan laju penurunan paling tajam dalam lebih dari setahun.
- Penjualan Rumah Baru
Penjualan rumah baru di AS turun 4,7% secara bulanan pada Agustus 2024, mencapai tingkat tahunan yang disesuaikan sebesar 716.000 unit. Penurunan ini sebagian mengimbangi kenaikan 10,3% yang direvisi dari bulan sebelumnya, tetapi tetap lebih besar dari perkiraan pasar sebesar 700.000 unit.
- Klaim Pengangguran
Klaim tunjangan pengangguran di AS turun sebanyak 4.000 orang pada minggu yang berakhir 21 September, menjadi 218.000, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 225.000, dan mencatat titik terendah dalam 4 bulan.
- Data PCE
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) AS meningkat 0,1% secara bulanan pada Agustus 2024, setelah naik 0,2% pada Juli, sesuai dengan ekspektasi. Indeks PCE inti, yang tidak termasuk makanan dan energi, juga naik 0,1%, di bawah 0,2% pada Juli dan perkiraan pasar sebesar 0,2%. Secara tahunan, indeks PCE inti tumbuh menjadi 2,7 persen pada Agustus 2024, naik dari 2,6% pada Juli.
China
- Suku Bunga Pinjaman Utama
Bank Rakyat Tiongkok (PBoC) mempertahankan suku bunga pinjaman utamanya tetap pada penetapan September, sesuai dengan perkiraan pasar. Suku bunga pinjaman satu tahun, yang menjadi acuan untuk sebagian besar pinjaman korporat dan rumah tangga, dipertahankan di 3,35%, sementara suku bunga lima tahun, yang menjadi patokan untuk hipotek properti, tetap di 3,85%.
- Suku Bunga Pinjaman Satu Tahun
Bank Rakyat Tiongkok (PBoC) menurunkan suku bunga pinjaman kebijakan satu tahun, yang dikenal sebagai fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF), sebesar 30bps menjadi 2,0% dari 2,3% pada tanggal 25 September.
- Total Laba Industri
Laba yang diperoleh perusahaan industri Tiongkok naik sebesar 0,5% yoy menjadi CNY 4.652,73 miliar dalam delapan bulan pertama tahun 2024, jauh lebih rendah dari kenaikan 3,6% pada periode sebelumnya.
- PMI Manufaktur
PMI Manufaktur China meningkat menjadi 49,8 pada September 2024, dari 49,1 pada Agustus, melampaui perkiraan pasar sebesar 49,5. Meskipun ini merupakan bulan kelima berturut-turut kontraksi, penurunan kali ini adalah yang paling lemah dalam rangkaian tersebut.
- PMI Non-Manufaktur
PMI Non-Manufaktur China tercatat sebesar 50,0 pada September 2024, turun dari 50,3 pada bulan sebelumnya. Angka ini lebih rendah dari perkiraan pasar sebesar 50,4 dan merupakan level terendah sejak Desember 2022.
Indonesia
- Neraca Perdagangan, Ekspor, Impor
Surplus perdagangan Indonesia menyusut menjadi 2,89 miliar dolar AS pada Agustus 2024 dari 3,12 miliar dolar pada periode yang sama tahun lalu, namun masih melampaui perkiraan pasar sebesar 1,96 miliar dolar. Ekspor naik 5,97% dari bulan sebelumnya menjadi 23,56 miliar dolar, sementara impor turun 4,93% menjadi 20,67 miliar dolar dibandingkan Juli 2024.
- Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan kredit di Indonesia mencapai 11,40% pada Agustus 2024 secara tahunan, terendah dalam enam bulan terakhir, melambat dari 12,40% pada Juli 2024.
- Suku Bunga
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dari 6,25% menjadi 6% pada Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 September 2024. Selain itu, BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility di 5,25% dan lending facility di 6,75%.
- Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang beredar M2 di Indonesia menurun menjadi 8.973,7 triliun IDR pada Agustus 2024, dari 8.983,4 triliun IDR pada Juli. Rata-rata jumlah uang beredar M2 Indonesia mencapai 2.040,66 triliun IDR dari 1980 hingga 2024, dengan rekor tertinggi 9.015,4 triliun IDR pada Juni 2024 dan terendah 5,16 triliun IDR pada Februari 1980.
- Data PMI Manufaktur
PMI Manufaktur Indonesia S&P Global naik menjadi 49,2 pada September 2024 dari level terendah hampir tiga tahun di bulan Agustus sebesar 48,9. Namun, hal ini menandai penurunan aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut, dengan output dan pesanan baru turun untuk bulan ketiga berturut-turut.
- Inflasi
Laju inflasi tahunan Indonesia turun menjadi 1,84% pada September 2024, menandai level terendah sejak November 2021, sekaligus tetap berada dalam kisaran target bank sentral sebesar 1,5% hingga 3,5%. Sementara tingkat inflasi inti mencapai titik tertinggi dalam 13 bulan sebesar 2,09%, naik dari 2,02% di bulan Agustus. Secara bulanan, CPI turun sebesar 0,12%, melanjutkan tren penurunannya untuk bulan kelima.
- Jumlah Kunjungan Wisatawan
Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di Indonesia meningkat 18,3% secara tahunan menjadi 1,34 juta orang pada Agustus 2024, di tengah pemulihan lebih lanjut di sektor pariwisata. Kedatangan wisatawan mancanegara sebagian besar berasal dari Malaysia (7,99%), Singapura (19,02%), Tiongkok (47,99%), India (18,14%), Jepang (26,22%), dan Australia (19,11%).
Market Highlights
(15 September – 1 Oktober 2024)
1. IHSG Kembali Anjlok ke Kisaran 7.500-an Setelah Sempat Menembus ATH 7.905
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan kembali ke level 7.500 pada perdagangan Senin (30/9/2024), setelah sebelumnya mencapai titik tertinggi sepanjang masa di 7.905 pada penutupan 19 September 2024. Pelemahan IHSG dipicu oleh anjloknya saham-saham bank berkapitalisasi besar, dan juga aksi ambil untung oleh para investor.
2. Dana Asing Banyak Kabur dari RI Usai China Luncurkan Sejumlah Stimulus
Stimulus yang diluncurkan China tampaknya menarik minat investor asing untuk memindahkan dananya ke pasar China. Adapun Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran keluar modal asing sebesar Rp 9,73 triliun pada pekan keempat September 2024. Aliran keluar terbesar terjadi pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan nilai Rp 5,5 triliun, diikuti oleh surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 1,30 triliun, dan pasar saham sebesar Rp 2,88 triliun.
3. OPEC+ Lanjutkan Peningkatan Produksi pada Desember 2024
OPEC+ berencana melanjutkan peningkatan produksi minyak sebanyak 180.000 barel per hari pada Desember 2024. Namun, sebelum peningkatan tersebut, Irak dan Kazakhstan akan mengurangi produksi minyak sebesar 123.000 barel per hari pada September 2024 untuk menebus kelebihan produksi di awal tahun. Menanggapi hal ini, harga minyak mentah Brent di pasar spot turun -2,53% menjadi 71,6 dolar AS per barel pada 27 September 2024.
4. Cukai Rokok Batal Naik di Tahun 2025
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengonfirmasi bahwa tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tidak akan naik pada tahun 2025. Namun, industri tembakau masih menghadapi ancaman kebijakan Kementerian Kesehatan yang berencana menerapkan aturan kemasan polos tanpa merek. Kebijakan ini diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang bisa meningkatkan peredaran rokok ilegal.
5. Shigeru Ishiba Terpilih Jadi PM Baru Jepang, Suku Bunga Diproyeksikan Rendah
Shigeru Ishiba, pemimpin terpilih Partai Demokrat Liberal (LDP), partai berkuasa di Jepang, sekaligus kandidat kuat perdana menteri, mengatakan bahwa kebijakan moneter negara tersebut harus terus akomodatif, mengindikasikan perlunya mempertahankan biaya pinjaman yang rendah untuk mendukung pemulihan ekonomi yang rapuh.
Insight Pasar Obligasi
Indonesia Composite Bond Index (ICBI) adalah indikator yang mencerminkan kinerja pasar obligasi secara keseluruhan di Indonesia. Selama periode 20 hingga 27 September 2024, ICBI menunjukkan pergerakan yang relatif stabil dengan sedikit fluktuasi. Indeks ini mencapai titik tertinggi di 396,30 dan terendah di 395,25, dengan perbedaan hanya 1,05 poin. Stabilitas ini mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam sentimen pasar obligasi di Indonesia selama periode tersebut.
Sentimen positif yang memengaruhi stabilitas pasar obligasi ini berasal dari beberapa faktor, baik domestik maupun internasional. Di antaranya adalah penguatan nilai Rupiah serta keputusan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral, termasuk The Fed. Sebagai informasi, pada September 2024, The Fed menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75%-5,0%. Ini merupakan pemangkasan pertama sejak Maret 2020, dan lebih besar dari ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya 25 bps.
The Fed dalam keterangannya menjelaskan bahwa faktor utama dari pemangkasan sebesar 50 bps adalah tingkat pengangguran AS yang meningkat. Sebagai informasi, Tingkat pengangguran mencapai 4,2% pada Agustus 2023, dari 3,8% pada Agustus 2023. Angka pengangguran bahkan sempat menyentuh 4,3% pada Juli 2024 yang merupakan rekor tertinggi sejak Oktober 2021. Sementara itu, inflasi AS jauh melandai ke 2,5% (year on year/yoy) pada Agustus 2024, dari 3,7% pada Agustus 2023.
The Fed juga diproyeksikan masih akan melakukan dua kali pemotongan sebesar 25 bps lagi di tahun ini. Adapun data PCE pada Agustus 2024 lalu tercatat mengalami kenaikan 0,1% mom, sesuai dengan ekspetasi pasar. Secara tahunan PCE mengalami kenaikan 2,2% you lebih rendah dari sebelumnya yang sebesar 2,5%. Data ini pun semakin membuat investor yakin bahwa The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuannya pada pertemuan mendatang. Sementara untuk tahun 2025, diperkirakan akan ada pemotongan suku bunga tambahan sebesar 100 bps, diikuti dengan pemotongan akhir sebesar 50 bps pada 2026, sehingga suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,9% pada 2026.
Di sisi domestik, Bank Indonesia (BI) juga telah memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dari 6,25% menjadi 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diadakan pada 17-18 September 2024. Selain itu, BI menahan suku bunga deposit facility di 5,25% dan lending facility di 6,75%. Para ekonom memprediksi BI akan kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 bps pada Oktober 2024, mengingat kondisi inflasi yang terkendali dan nilai tukar Rupiah yang stabil.
Adapun Indonesia mengalami deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada September 2024 sebesar 0,12%. Sehingga, deflasi terjadi dalam lima bulan beruntun pada tahun berjalan. Deflasi tersebut bahkan lebih dalam dari bulan sebelumnya yang tercatat 0,03% (mtm). Deflasi sering kali menunjukkan bahwa permintaan agregat (konsumsi dan investasi) sedang melemah. Dalam situasi deflasi, Bank Indonesia (BI) cenderung melonggarkan kebijakan moneternya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghentikan penurunan harga.
Salah satu langkah yang umum dilakukan adalah menurunkan suku bunga acuan. Ketika BI menurunkan suku bunga, imbal hasil (yield) obligasi biasanya ikut menurun. Hal ini terjadi karena obligasi yang sudah beredar dengan kupon (bunga) yang lebih tinggi menjadi lebih menarik dibandingkan dengan obligasi baru yang diterbitkan setelah penurunan suku bunga, dimana kuponnya cenderung lebih rendah.
Yield obligasi 10 tahun Indonesia sendiri terlihat sudah berada dalam fase menurun sejak Juni 2024 lalu, sejalan dengan ekspetasi penurunan suku bunga BI. Namun, pada perdagangan 30 September 2024, yield obligasi ini mengalami sedikit peningkatan ke level 6,528%. Kenaikan ini terjadi akibat aksi pelepasan aset oleh investor asing, yang tidak hanya melepas obligasi, tetapi juga saham dan sekuritas bank sentral. Berdasarkan data transaksi pada 23-26 September 2024, investor nonresiden mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 9,73 triliun, dengan rincian penjualan bersih Rp 2,88 triliun di pasar saham, Rp 1,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp 5,55 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Keluarnya dana asing ini terjadi setelah pemerintah China mengumumkan rencana stimulus yang mengejutkan dunia, yang disampaikan melalui bank sentral (PBoC). Stimulus moneter dan dukungan besar-besaran bagi pasar properti ini merupakan langkah baru dari pemerintah China untuk menggerakkan kembali ekonomi yang masih tertekan akibat deflasi. Berikut adalah beberapa langkah stimulus yang diluncurkan oleh PBoC untuk mendukung perekonomian China:
– Memangkas suku bunga Medium-Term Lending Facility (MLF) tenor 1 tahun sebesar 30 bps menjadi 2%.
– Memangkas suku bunga 7-day reverse repo rate sebesar 20 bps menjadi 1,5%.
– Menurunkan giro wajib minimum bank sebesar 50 bps menjadi 9,5%, yang diperkirakan akan menambah likuiditas sekitar 1 triliun yuan.
– Menurunkan rasio down-payment rumah kedua dari 25% menjadi 15%.
– Memangkas suku bunga loan prime dan deposito sebesar 20-25 bps.
– Menaikkan subsidi pinjaman pemerintah daerah untuk membeli rumah tak terjual dari 60% menjadi 100%.
Stimulus ini tentunya memberi dorongan positif bagi ekonomi China, tetapi dalam jangka pendek, menimbulkan dampak kurang menguntungkan bagi Indonesia, khususnya terkait aliran modal asing yang keluar. Meskipun begitu, arus keluar dana diperkirakan tidak akan terlalu besar mengingat fundamental ekonomi Indonesia yang lebih kuat dibandingkan China. Di sisi lain, stimulus ini juga berpotensi memberikan peluang positif bagi Indonesia. Jika ekonomi China kembali tumbuh, perusahaan-perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor dapat memperoleh keuntungan dari peningkatan permintaan.
Di samping aliran asing yang keluar karena stimulus dari China, nilai tukar Rupiah terpantau menguat pada 30 September 2024 hingga menyentuh level 15.100 an. Meskipun ada arus keluar modal, penguatan Rupiah ini dapat dijelaskan oleh fundamental ekonomi Indonesia yang solid, termasuk inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Kondisi ini memberikan keyakinan bagi investor bahwa perekonomian Indonesia tetap kuat, sehingga Rupiah tidak mengalami pelemahan yang signifikan.
Secara keseluruhan, pasar obligasi Indonesia menunjukkan stabilitas yang kuat, meskipun ada tantangan di pasar saham dan keluarnya dana asing. Dengan adanya ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed dan Bank Indonesia (BI), pasar obligasi Indonesia berada dalam posisi yang menguntungkan. Mengingat penurunan suku bunga diprediksi akan meningkatkan harga obligasi, obligasi jangka panjang menjadi lebih menarik, karena lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga. Ketika suku bunga turun, obligasi dengan tenor lebih panjang akan mengalami kenaikan harga yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi jangka pendek.
Rekomendasi: FR0089, FR0097, FR0098, FR0102 dan FR0103
Disclaimer:
Buletin ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan sebagai dasar untuk membeli dan menjual keputusan. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Klien harus mengetahui dan memahami risiko di Pasar Modal dan memahami isi buletin sebelum mengambil tindakan terkait. Oleh karena itu, PT Fawz Finansial Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung atau tidak langsung yang diderita oleh klien sebagai akibat dari penggunaan informasi dalam buletin ini.
By Aurel Fawz Finansial Indonesia