Raksasa properti asal China, Evergrande, resmi mengumumkan kebangkrutan pada hari Kamis (17/8/2023), setelah mengalami gagal bayar sebesar US$340 atau sekitar Rp 4.400 triliun pada tahun 2021 lalu. Evergrande sendiri diketahui telah mengajukan perlindungan dari para kreditur di pengadilan kebangkrutan AS sebagai bagian dari proses restrukturisasi utang.
Selain Evergrande, beberapa pengembang besar lainnya di China juga mengalami hal yang serupa, seperti salah satunya adalah perusahaan real estat terbesar ke-27 di China, Kaisa Group Holdings. Kaisa disebut-sebut tidak akan mampu memenuhi target tenggat waktu utang sebesar US$ 400 juta atau setara dengan Rp 200,78 miliar.
Selain itu, raksasa real estat China lainnya, Country Garden, juga diprediksi bakal mengikuti jejak Evergrande. Pengembang non-BUMN terbesar berdasarkan penjualan itu dilaporkan telah melewatkan dua pembayaran kupon obligasi dolar pada 1 Agustus, senilai total US$ 22,5 juta arau sekitar Rp 342 miliar. Adapun obligasi yang dimaksud adalah obligasi yang jatuh tempo pada Februari 2026 dan Agustus 2030. Lantas, apakah kebangkrutan Evergrande dan sejumlah pengembang besar China lainnya akan berdampak ke emiten properti di Indonesia?
Menurut Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta, kebangkrutan Evergrande tidak akan berdampak terlalu signifikan ke kinerja emiten properti di Indonesia. Hal tersebut pun tercermin dari kinerja marketing sales emiten properti Indonesia yang masih cukup positif. Tak hanya itu, emiten properti Indonesia juga terbantu oleh suku bunga Bank Indonesia (BI) yang sudah melandai. Suku bunga ini pun diyakini dapat memicu peningkatan kinerja permintaan kredit properti, baik itu KPR maupun KPA, sehingga marketing sales emiten-emiten properti bisa meningkat.