[Medan | 31 Agustus 2023] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengkonfirmasi bahwa mereka tidak memberikan persetujuan kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) untuk menaikkan harga gas kepada pelanggan industri, yang dijadwalkan akan diterapkan pada 1 Oktober 2023 mendatang. Adapun setelah pengumuman ini, harga saham PGAS turun 45 poin atau 3,08% ke level Rp 1.415 per saham hingga penutupan sesi I pada hari Rabu (30/8/2023).
Berdasarkan surat edaran PGN kepada pelanggan gas industri non-HGBT, per 1 Oktober, untuk pelanggan gold harga gas semula US$ 9,16 per MMBTU menjadi US$ 11,89 per MMBTU. Kemudian pelanggan Silver (PB-KSv) dari sebelumnya US$ 9,78 per MMBTU menjadi US$ 11,99 per MMBTU. Lalu pelanggan Bronze 3 (PB-SBr3B) dari harga gas semula US$ 9,16 per MMBTu menjadi US$ 12,31 per MMBTU. Pelanggan Bronze 2 (PB-SBr2) sebelumnya US$ 9,20 per MMBTu menjadi US$ 12,52 per MMBTU). Adapun untuk pelanggan Bronze 1 (PB-KBr1) perubahan harga gas baru akan naik pada 1 Januari 2024 di mana harga gas semula Rp 6.000 per meter kubik (m³) menjadi Rp 10.000/m³.
Tidak hanya Kementerian ESDM yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap rencana kenaikan harga gas oleh PGN. Kementerian Perindustrian juga mengkritisi rencana ini, menganggap bahwa upaya untuk menaikkan harga gas menghadapi banyak hambatan di lapangan. Pasalnya, pemerintah menginginkan harga gas lebih murah dan terjangkau nilai ekonomisnya. Itulah mengapa pemerintah menetapkan alokasi gas yang ditujukan bagi industri atau non-HGBT. Langkah yang diambil oleh PGN ini pun dianggap akan memberatkan konsumen pada saat ekonomi Indonesia tengah berusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pelaku industri plastik Indonesia juga mengecam langkah PGN ini. Adapun menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, pihaknya menolak rencana tersebut karena industri plastik masih mengalami kesulitan dalam pemulihan akibat dampak pandemi. Penurunan industri di China pun dianggap dapat menyebabkan peningkatan impor bahan baku dan produk plastik ke Indonesia, yang berisiko mengganggu pasar dan meningkatkan risiko banjirnya impor barang tersebut.