[Medan | 21 November 2025] Bank Indonesia (BI) mulai membuka akses penggunaan obligasi korporasi sebagai underlying dalam transaksi repo dengan perbankan. Kebijakan ini menjadi langkah penting dalam pendalaman pasar keuangan, mengingat sebelumnya BI hanya menerima Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen milik BI seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) menjadi korporasi pertama yang obligasinya resmi diakui sebagai instrumen repo BI.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menjelaskan bahwa perluasan jenis surat berharga ini dimungkinkan setelah berlakunya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Regulasi ini memberikan landasan hukum bagi BI untuk melakukan transaksi outright maupun repo menggunakan surat berharga berkualitas tinggi, termasuk obligasi korporasi berperingkat minimal AA.
Destry mengatakan bahwa ketentuan baru tersebut memungkinkan BI memperluas instrumen yang dapat digunakan dalam transaksi pasar uang, tidak hanya terbatas pada SBN atau SRBI, tetapi juga surat berharga berkualitas lainnya.
Repo atau Repurchase Agreement adalah transaksi pembelian surat berharga dengan perjanjian untuk membelinya kembali pada harga tertentu di kemudian hari. Instrumen ini menjadi salah satu mekanisme pendanaan jangka pendek yang dijamin oleh aset berkualitas.
Langkah ini dinilai akan memperkuat transmisi kebijakan moneter ke seluruh ekosistem keuangan, mulai dari pasar uang, pasar obligasi, hingga sektor perbankan dan korporasi, karena jumlah aset yang dapat dikolateral-kan semakin luas.
SMF menjadi emiten pertama setelah proses pembahasan antara BI, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Obligasi SMF dinilai memenuhi seluruh persyaratan, termasuk likuiditas perdagangan di pasar sekunder.
BI mencatat sudah ada sembilan bank yang memanfaatkan repo dengan underlying obligasi SMF dengan total transaksi mencapai Rp299 miliar. Dari total outstanding obligasi SMF sekitar Rp25 triliun, BI memperkirakan sekitar Rp10 triliun memenuhi syarat repo, antara lain harus aktif diperdagangkan dalam 30 hari terakhir.
Penguatan pasar repo menjadi salah satu fokus dalam Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025–2030. Meski progresnya signifikan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand, di mana repo telah menjadi tulang punggung pasar uang. Lima tahun lalu, transaksi repo harian Indonesia hanya Rp509 miliar; tahun ini nilainya meningkat menjadi Rp17,8 triliun.
Destry juga mendorong perubahan persepsi lama bahwa repo identik dengan bank yang kekurangan likuiditas. Menurutnya, repo justru merupakan mekanisme normal untuk optimalisasi aset secara aman karena transaksi dilakukan menggunakan kolateral.
Ke depan, BI bersama OJK, KSEI, dan BEI tengah menyiapkan implementasi central counterparty (CCP) untuk transaksi repo guna meningkatkan keamanan dan efisiensi pasar.

