[Medan | 18 Desember 2025] Bursa saham Asia diperkirakan melemah pada awal perdagangan Kamis (18/12), seiring pasar global kembali bergerak ke arah risk-off. Kekhawatiran terhadap sektor teknologi AS membebani aset berisiko, sekaligus mendorong arus dana ke obligasi pemerintah AS bertenor pendek dan logam mulia.
Kontrak berjangka indeks saham Jepang, Australia, dan Hong Kong tercatat melemah pada pagi hari di Asia. Tekanan berasal dari Wall Street, setelah indeks Nasdaq 100 anjlok 1,9% pada perdagangan Rabu, dengan saham Nvidia Corp merosot 3,8% ke level terendah sejak September. Sementara itu, S&P 500 turun 1,2% ke posisi terendah dalam tiga pekan dan menembus rata-rata pergerakan 50 hari, yang kerap dipandang sebagai sinyal teknikal negatif.
Aksi jual di sektor teknologi mencerminkan meningkatnya keraguan investor terhadap kemampuan emiten-emiten unggulan kecerdasan buatan (AI) untuk terus menopang valuasi tinggi di tengah belanja modal yang agresif. Meski Micron Technology merilis proyeksi yang relatif optimistis dan menopang sahamnya di perdagangan setelah jam bursa, sentimen pasar secara umum tetap rapuh.
“AI masih menjadi tema struktural utama, tetapi tanda-tanda kelelahan mulai muncul,” ujar Jack Ablin dari Cresset Capital Management, seraya menyoroti tingginya valuasi dan skala investasi infrastruktur AI yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sentimen negatif tersebut turut menyeret Bitcoin kembali ke kisaran US$86.000, setelah sebelumnya sempat menembus level US$90.000.
Di pasar obligasi, meningkatnya permintaan terhadap Treasury AS tenor dua dan lima tahun mencerminkan sikap defensif investor. Sebaliknya, obligasi jangka panjang melemah, mendorong imbal hasil Treasury tenor 10 tahun naik ke sekitar 4,15%, sekaligus menopang penguatan dolar AS.
Harga emas dan perak melonjak tajam di tengah meningkatnya permintaan aset lindung nilai, dengan perak mencetak salah satu kenaikan harian terbaiknya sepanjang tahun. Sementara itu, harga minyak rebound dari level terendah baru-baru ini, didukung meningkatnya risiko geopolitik yang melibatkan Rusia dan Venezuela.
Menjelang akhir tahun, volatilitas pasar berpotensi meningkat seiring likuiditas yang menipis pada periode liburan. Sejarah menunjukkan kondisi ini kerap memperbesar fluktuasi harga, seperti yang terjadi pada Desember 2018 saat S&P 500 terkoreksi hampir 10%.
Dampak ke Bursa Asia dan Indonesia
Bagi bursa Asia, tekanan di sektor teknologi AS berpotensi menular melalui saham-saham berorientasi ekspor dan teknologi, terutama di Jepang, Korea Selatan, dan China. Sentimen risk-off juga dapat menahan minat investor asing di pasar ekuitas regional dalam jangka pendek.
Di Indonesia, pelemahan bursa Asia berisiko memicu aksi wait and see pada saham-saham berkapitalisasi besar, khususnya sektor teknologi dan saham berbasis pertumbuhan. Namun demikian, aliran dana ke aset defensif global berpotensi menopang minat terhadap saham berdividen tinggi dan sektor berbasis domestik, seiring investor mengurangi eksposur terhadap aset berisiko tinggi.

