[Medan | 22 Januari 2025] Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan bahwa negaranya sedang menghadapi situasi darurat energi nasional. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato perdananya usai resmi dilantik pada Senin (20/1/2025).
Dalam pidato tersebut, Trump berkomitmen untuk meningkatkan cadangan minyak strategis AS dan memperluas ekspor energi ke seluruh dunia. Selain itu, ia mengakhiri keterlibatan AS dalam Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement), yang sebelumnya bertujuan untuk membatasi pemanasan global jangka panjang.
Langkah ini, meskipun bertentangan dengan upaya global memerangi perubahan iklim, merupakan strategi untuk memperkuat produksi energi domestik dan mengendalikan inflasi. Kebijakan tersebut juga mencerminkan pergeseran signifikan dari pendekatan pemerintahan sebelumnya di bawah Joe Biden, yang fokus pada transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan selama empat tahun terakhir.
Pada Oktober 2024, AS mencatat produksi minyak harian lebih dari 13,4 juta barel, atau meningkat sekitar 17% dibandingkan akhir masa jabatan pertama Trump pada Januari 2021, menurut data Badan Informasi Energi AS. Angka tersebut menjadi produksi minyak domestik bulanan tertinggi sejak tahun 1920. Kebijakan Trump yang mendukung bahan bakar fosil diperkirakan akan menguntungkan perusahaan energi domestik.
Namun, kebijakan ini memiliki risiko menekan harga minyak dunia karena potensi produksi yang melimpah mungkin tidak sebanding dengan tingkat permintaan global. Di sisi lain, harga minyak yang lebih rendah dapat membantu mengendalikan inflasi di AS, terutama di tengah pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed yang dapat meningkatkan likuiditas dan menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif.
Bagi Indonesia, pengumuman darurat energi AS ini berpotensi memberikan efek positif. Sebagai salah satu produsen batu bara utama, Indonesia bisa meningkatkan ekspor seiring dengan meningkatnya permintaan energi fosil, yang juga dapat mendukung kenaikan harga batu bara.
Selain itu, penurunan harga minyak dunia sebagai dampak dari lonjakan produksi AS akan menjadi keuntungan bagi Indonesia yang merupakan net importir minyak. Harga minyak yang lebih rendah dapat mengurangi beban impor minyak yang selama ini bernilai ratusan triliun rupiah, sehingga mendukung stabilitas ekonomi dan fiskal nasional.