Melihat permintaan konsumen AS yang kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat, Federal Reserve AS kemungkinan dapat menaikkan suku bunga menjadi hampir 6%. Angka tersebut lebih tinggi dari puncak 5,4% pada bulan September yang saat ini diperkirakan oleh para pedagang.
Sebelumnya, Jerome Powell, Ketua The Fed, mengklaim AS sudah dalam proses deflasi, yang artinya, pertumbuhan inflasi sudah mulai melanda. Namun, melihat penurunan inflasi yang tidak sebesar ekspektasi, serta data tenaga kerja yang kuat, pasar kini menanti apakah akan ada perubahan lagi dari pernyataan Powell nantinya. Dalam pernyataan baru-baru ini, Powell juga memperjelas bahwa jika inflasi naik kembali, suku bunga dapat meningkat lebih dari yang diperkirakan.
Lalu, apa yang akan terjadi apabila The Fed menaikkan suku bunganya hingga 6%? Yang pasti, pasar keuangan global akan mengalami “guncangan”. Amerika Serikat dapat menerima aliran modal kembali dari negara pasar berkembang seperti Indonesia. Nilai tukar mata uang lainnya kemungkinan akan turun lagi sementara dolar AS mungkin akan menguat lagi.
Nah, saat rupiah terpuruk, dampaknya akan terasa ke sektor riil dan inflasi juga bisa kembali meningkat. Peningkatan inflasi ini akan menyebabkan daya beli menurun dan pertumbuhan ekonomi melambat. Dalam kondisi tersebut, Bank Indonesia (BI) berpeluang kembali menaikkan suku bunga, yang akan membuat pelambatan ekonomi semakin dalam.
Menurut Gubernur Perry Warjiyo, suku bunga BI saat ini sebesar 5,75% sudah cukup untuk menurunkan inflasi. Dalam kondisi saat ini, rasanya kecil kemungkinan suku bunga BI akan lebih rendah dari The Fed. Sehingga jika The Fed menaikkan suku bunga lebih dari 5,25%, tekanan bagi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga semakin besar.