Data menunjukkan bahwa pertumbuhan China untuk periode April hingga Juni 2023 meleset dari perkiraan. Adapun, pertumbuhan domestik bruto negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut hanya tumbuh 6,3% dari tahun sebelumnya, padahal perkiraan ekonom bisa mencapai 7,1%.
Pertumbuhan ekonomi China yang gagal bergerak sesuai harapan, bahkan cenderung melambat pada kuartal kedua (Q2) tahun ini, juga turut meningkatkan angka pengangguran di negara tersebut. Berdasarkan data yang dirilis, angka pengangguran muda China pada kuartal II-2023 mencapai rekor tertinggi, yaitu 21,3%.
Data pertumbuhan China pun telah membebani pasar saham dunia ditengah antisipasi pengetatan moneter oleh Federal Reserve. Adapun, saham perusahaan sumber daya Anglo American Plc, Glencore Plc dan Rio Tinto Plc turun karena pelemahan China membebani harga logam. Sementara di sektor barang mewah, saham LVMH dan Hermes International pun tercatat mengalami penurunan.
Sementara itu, indeks S&P 500 tercatat turun 0,10%, dan Nasdaq Composite juga turun 0,18%. Namun, kedua indeks tersebut masih menyentuh level intraday tertinggi sejak April 2022. Sementara itu, saham di China tetap menjadi yang berkinerja terburuk di Asia pada hari Senin (17/7/2023). Adapun, pasar Jepang ditutup karena liburan, dan perdagangan di Hong Kong dibatalkan karena adanya badai.