Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, resmi menerbitkan formula terbaru mengenai harga batu bara acuan (HBA). Formula harga batu bara acuan tersebut bertujuan untuk mengatasi anomali harga batu bara di pasar dunia. Formulasi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Nomor 41/K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan Untuk Penjualan Komoditas Batu Bara yang disahkan pada 27 Februari 2023 lalu.
Sebelumnya, HBA bertumpu pada rata-rata indeks domestik dan internasional seperti Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dan Platt’s 5900. Pada awalnya empat indeks itu menggunakan asumsi rata-rata kualitas batu bara yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.
Formula HBA baru, menurut Arifin, akan menggunakan harga jual batu bara dua bulan terakhir dengan dua persentase berbeda, yakni 70% untuk bulan berjalan dan 30% untuk bulan sebelumnya. Sebagai informasi, pengubahan formulasi HBA ini berawal dari keluhan pelaku usaha yang merasa berat untuk membayar kewajiban royalti yang lebih tinggi dari patokan harga jual batu bara. Pada bulan Februari, harga acuan ditetapkan menjadi US$ 277,05 per ton.
Lalu, apa dampak dari perubahan formula harga batu bara acuan (HBA) yang tidak lagi didasarkan pada empat indeks harga batu bara internasional? Karena sebagian besar batubara yang diproduksi di Indonesia adalah batubara kalori rendah, mekanisme yang digunakan untuk menentukan HBA sebelumnya, yang lebih mungkin melacak harga batubara kalori tinggi yang dipasok ke tempat lain, menjadi sia-sia. Nah, formula HBA yang baru ini dinilai akan mampu mengurangi selisih antara beban kewajiban royalti dan harga jual batu bara.