Setelah enam kali kenaikan berturut-turut, bank sentral Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya pada hari Kamis (16/2/2023). Bank Indonesia (BI) meninggalkan benchmark 7-day reverse repurchase rate (IDCBRR=ECI) di 5,75%, seperti yang diharapkan oleh mayoritas ekonom dalam jajak pendapat Reuters.
Keputusan tersebut menyoroti kesenjangan kebijakan yang tumbuh antara negara-negara di mana inflasi perlahan-lahan mereda dan negara-negara di mana harga tetap tinggi, dengan bank sentral di banyak ekonomi utama dan beberapa negara tetangga Asia seperti Filipina melanjutkan pengetatan mereka.
Di Filipina, di mana inflasi Januari melaju ke level tertinggi 14 tahun sebesar 8,75%, bank sentralnya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 6,0% pada hari Kamis dan menandai kesiapannya untuk membuat lebih banyak kenaikan. Sebaliknya, inflasi Indonesia memuncak pada 5,95% pada bulan September setelah pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dan turun menjadi 5,28% pada bulan Januari.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan bahwa ini lebih cepat dari perkiraan BI. BI bertujuan untuk mengembalikan inflasi ke dalam kisaran target 2% hingga 4% pada paruh kedua tahun ini dan inflasi inti untuk tetap berada dalam kisaran yang sama sepanjang tahun. Tetapi beberapa ekonom memperingatkan bahwa risiko tetap ada karena faktor-faktor seperti perbedaan suku bunga, dengan Federal Reserve AS kemungkinan akan menaikkan suku bunga lebih lanjut, serta kemungkinan gejolak harga domestik lagi.
Menurut analis Capital Economics Shivaan Tandon, BI kemungkinan besar tidak akan memperketat kebijakan lagi tahun ini sebagai akibat dari penurunan inflasi, PDB yang lesu, dan meredanya kekhawatiran rupiah. Rupiah, meskipun mengalami beberapa depresiasi bulan ini, tetap menguat sekitar 2,5% dibandingkan akhir tahun 2022.
Mulai 1 Maret, BI juga akan mulai menawarkan deposito valas berjangka 1, 3, dan 6 bulan untuk nasabah beberapa bank dengan imbal hasil yang menarik, yang dimaksudkan untuk membujuk eksportir agar menyimpan dana mereka lebih lama di darat. BI mendorong prospek pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini ke kisaran 4,5% hingga 5,3%, setelah data bulan ini menunjukkan ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu berkembang dengan laju tercepat dalam sembilan tahun sebesar 5,3% pada tahun 2022. Perubahan itu, menurut Warjiyo, juga didorong oleh China, mitra dagang terbesar Indonesia, yang menghapus kebijakan zero-COVID, yang dimana bisa meningkatkan ekspor dan konsumsi swasta.