[Medan | 8 April 2025] Rupiah sempat menguat pada hari terakhir perdagangan sebelum libur Lebaran, Kamis (27/3), di level Rp16.566 per dolar AS. Namun, selama libur Lebaran dan perdagangan berlangsung di pasar non-deliverable forward (NDF), rupiah mengalami gejolak tajam. Pada Jumat (4/4), nilai tukarnya sempat menembus Rp17.006 per dolar AS.
Sebagai catatan, NDF adalah kontrak keuangan yang memperdagangkan nilai tukar mata uang dengan jangka waktu dan kurs yang telah ditentukan, biasanya berlangsung di luar negeri seperti di Singapura, Hong Kong, New York, atau London. Meskipun tidak tersedia di Indonesia, pergerakan kurs di pasar NDF kerap mempengaruhi psikologi pasar dan membentuk ekspektasi di pasar spot domestik.
Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut bahwa melemahnya rupiah ke level Rp17.000 per dolar AS tak hanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti kebijakan tarif impor AS. Ia menyoroti bahwa negara Asia lain seperti Vietnam, Filipina, dan India tidak mengalami depresiasi mata uang setajam Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kebijakan tarif balasan yang diumumkan oleh Presiden AS pada 2 April 2025, disusul oleh tindakan retaliasi dari China pada 4 April, telah memicu ketidakstabilan pasar keuangan global. Kondisi ini berdampak pada keluarnya aliran modal dan tekanan pelemahan nilai tukar, terutama di negara-negara berkembang.
Walau mengakui besarnya pengaruh global seperti arus modal, harga komoditas, kebijakan suku bunga negara maju, dan ketegangan perdagangan internasional, Achmad menilai bahwa menyalahkan faktor eksternal secara tunggal adalah penyederhanaan yang keliru. Ia berpendapat bahwa pelemahan rupiah juga mencerminkan kelemahan struktural dalam perekonomian domestik.
Achmad menyoroti defisit transaksi berjalan Indonesia yang diperkirakan melebar antara 1,18% hingga 2,3% dari PDB pada 2025, disebabkan oleh ketergantungan tinggi terhadap impor, terutama di sektor ritel, manufaktur, dan energi. Ia juga mengingatkan soal risiko dari utang luar negeri yang kian membengkak. Per Januari 2025, total utang luar negeri Indonesia mencapai US$427,5 miliar atau sekitar 30,3% dari PDB, yang menurutnya bisa menjadi “bom waktu”.
Pandangan serupa disampaikan analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, yang menilai bahwa tekanan utama pada rupiah berasal dari dalam negeri. Ia mengungkapkan kekhawatiran pasar terhadap defisit fiskal, potensi penurunan peringkat kredit, serta melambatnya prospek pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menahan pelemahan rupiah adalah lewat intervensi Bank Indonesia (BI). Tanpa langkah tersebut, rupiah berisiko menembus Rp17.000 bahkan bisa mencapai Rp20.000 per dolar AS.
Sebagai respons, dalam Rapat Dewan Gubernur pada 7 April 2025, BI memutuskan melakukan serangkaian intervensi di pasar NDF untuk meredam tekanan nilai tukar. Direktur Eksekutif Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyebut bahwa intervensi dilakukan secara berkelanjutan di pasar-pasar global seperti Asia, Eropa, dan New York. Selain itu, intervensi juga akan dilakukan di pasar domestik sejak pembukaan perdagangan 8 April 2025, melalui operasi valas dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Ramdan juga menambahkan bahwa BI akan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk menjaga kecukupan dana di pasar uang dan sektor perbankan. Semua langkah ini ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar dan membangun kembali kepercayaan investor terhadap perekonomian nasional.